Sore itu, Catrine terbaring lemas di atas kasur. Tubuhnya seakan tidak berdaya sama sekali. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Matanya terasa sangat berat, seakan tak dapat di buka lagi. Setetes darah mengalir keluar dari hidungnya. Catrine merasa sangat takut. Catrine tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi kepadanya. Catrine menghela nafas dalam-dalam. Tak terasa air mata telah menetes di pipinya yang dingin. Tubuhnya terasa diguncang-guncangkan oleh seseorang. Catrine hanya bisa mendengar seseorang menjerit sambil menangis. Tiba-tiba tubuhnya terasa melayang. Catrine merasa seseorang telah membawanya pergi. Catrine hanya bisa bergumam di dalam hati, ”Kemana aku akan pergi ? Apa aku akan kembali kepada-Nya ?”, Catrine hanya bisa pasrah.
Ternyata mata Catrine masih dapat terbuka. Catrine sangat bersyukur kepada-Nya. Tetapi kini Catrine berada di sebuah ruangan. Catrine melihat ibunya berada di sampingnya, sambil menangis memegang tangannya. Ibunya menatap wajahnya yang polos dengan penuh harapan. Ketika dilihatnya mata Catrine yang sudah terbuka, ibu Catrine memeluk Catrine erat-erat. Air mata mengalir di pipi ibunya. Ingin rasanya Catrine menangis melihat ibunya yang terus-menerus bersyukur kepada-Nya, karena Catrine belum dipanggil oleh-Nya. Senyum bahagia tersungging di bibir ibunya.
Dipanggilnya dokter yang akan memeriksa Catrine. Dokter juga ikut bahagia melihat Catrine yang sudah siuman. Tetapi perasaan bahagia dokter seakan-akan hilang, ketika mengetahui penyakit yang di derita Catrine. Dokter membicarakan semua yang ia periksa selama Catrine siuman. Dokter meminta maaf karena telah melukai hati ibu Catrine setelah mendengar penyakit yang di derita Catrine.
”Astagfirullah, dokter pasti bohongkan ? Anak saya tak mungkin menderita kanker darah”, ibu menangis tidak percaya.
”Maafkan saya, Bu. Ibu mungkin tidak percaya ini. Tetapi saya sudah periksa sedetil mungkin. Sekali lagi saya minta maaf, anak ibu terkena penyakit leukemia”, dokter merasa bersalah.
”Tidak, dokter tidak bersalah. Mugkin saya belum terbiasa menerima kenyataan ini. Tolong rawat Catrine dengan ketulusan hati dokter sehingga Catrine bisa sembuh. Saya mohon dokter”, ibu memohon.
”Baik, saya akan merawatnya semampu-mampunya saya”, sahut dokter lega.
”Terima kasih, dokter. Sekarang saya harap, saya bisa bertemu anak saya”, ibu berharap.
”Silahkan... Ibu boleh bertemu Catrine sekarang juga. Mungkin Catrine sedang membutuhkan ibu”, dokter mengizinkan.
Ibu pun melangkahkan kakinya keluar ruang dokter menuju ruang rawat Catrine. Ibu melihat Catrine terbaring lemas di atas kasur. Ibu mendekati Catrine dan menggenggam tangannya erat-erat.
”Catrine sakit apa, Bu ?”, sahut Catrine lemas.
”Maafkan ibu, Catrine. Mungkin ibu tidak akan mengatakannya sekarang. Tetapi ibu janji akan memberitahukan Catrine. Sekarang Catrine minum obat dan tidur ya”, sahut ibu sambil tersenyum tipis.
”Baik, Bu”, sahut Catrine menuruti apa yang ibunya katakan.
Dimalam yang diterangi bulan purnama ini, terasa sangat indah. Catrine yang sudah ingin terlelap merasa nyaman berada di samping ibunya. Ibunya mengelus-ngelus kepala Catrine sampai keduanya terlelap di malam yang bertaburan bintang.
Di pagi hari yang cerah. Catrine melihat ibunya sedang mengambil sarapan pagi yang diantarkan seorang suster yang cantik. Tak lupa pula, dilontarkan senyuman hangat kepada suster dan ibunya.
”Selamat pagi, Catrine”, suster menyapa.
”Selamat pagi, suster”, Catrine balik menyapa.
”Dimakan ya sarapan paginya”, sahut suster ceria.
”Baik, suster”, sahut Catrine ceria pula.
Suster pun meninggalkan ruangan bernomor 210 yang sekarang sedang ditempati Catrine. Ibu Catrine mengantarkan makanan yang diantarkan suster tadi ke tempat Catrine.
”Catrine... nih, sarapan paginya. Ada susu coklat hangat dan sepotong roti keju kesukaan Catrine. Oh, ya apel dan pir juga ada loh... Makan yang banyak ya supaya Catrine sehat”, ibu senang.
”Terima kasih ibu. Slurrp... Susu coklat hangatnya enak dan manis. Mmm... roti kejunya juga enak banget. Alhamdulillah, hari ini Catrine tetap makan seperti biasa. Tidak seperti orang-orang miskin yang mungkin belum makan, mudah-mudahan orang-orang miskin dapat makan seperti Catrine juga”, sahut Catrine.
”Amin... Alhamdulillah, anak ibu berhati mulia”, ibu mencium pipi dan kening Catrine.
Setelah selesai makan. Ibu mengantarkan makanan yang sudah dihabiskan Catrine ke ruang dapur rumah sakit. Ibu pun kembali dan duduk disamping Catrine.
”Ibu... Sekarang Catrine sudah boleh tau belum penyakit apa yang di derita Catrine”, Catrine memohon.
”Baiklah. Tapi Catrine janji dengan ibu, tidak akan sedih berlama-lama dan sampai-sampai putus asa. Catrine, maukan janji sama ibu”, ibu memberi syarat.
”Baik, ibu. Catrine tidak akan sedih berlama-lama sampai-sampai putus asa. Catrine akan menerima semuanya walaupun akan merenggut nyawa Catrine”, sahut Catrine pasrah.
”Catrine menderita penyakit Leukemia, Catrine tidah sedihkan. Catrine tetap semangatkan”, tanya ibu sambil terisak tangis.
”Astagfirullah... Ya Allah... Leukemia, kanker darah ?”, Catrine terkejut sambil menangis. ”Tidak apa-apa kok, Bu. Catrine menerima apa adanya kok. Catrine akan menerima semua cobaan yang diberikan oleh-Nya”, sahut Catrine reda.
”Ibu, salut sama Catrine. Ibu akan selalu mendukung Catrine”, sahut ibu bangga.
Catrine pun mencium tangan ibunya. Ibunya memeluk Catrine erat-erat seakan tak ingin dilepaskan. Catrine pun ditidurkan di atas kasur yang empuk.
Berbulan-bulan Catrine menaggung semua penderitaannya. Tetapi Catrine mempunyai semangat hidup. Catrine yakin, suatu saat ia pasti akan sembuh. Rambutnya yang sudah rontok akibat efek obat, berceceran di atas bantal. Kepalanya yang sudah mulai botak ditutupi dengan topi. Bibirnya yang semakin hari semakin pucat, tetap selalu tersenyum. Walaupun semakin hari keadaannya semakin memburuk Catrine tampak tetap bahagia. Tidak ada perasaan putus asa pun terasa olehnya. Ibunya juga tetap setia menemaninya dari hari kehari. Hingga suatu saat nanti, Catrine pasti akan sembuh dan bisa bermain-main lagi bersama teman-temannya.
No comments:
Post a Comment