“Koran… Koran”, sahut seorang gadis cilik yang bernama Rara Rabia.
Rara adalah seorang anak piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya, Raila Rabia. Rara dan Raila hanya berbeda umur 1 tahun. Oleh karena itu, Rara hanya mendapat kasih sayang yang sebentar. Kemudian, ibunya hamil dan harus mengurusi kehamilannya. Hingga ketika melahirkan adiknya, ibunya meninggal karena pendarahan. Tetapi Rara masih mempunyai ayah, ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Hanya bisa berbaring di atas kasur kapuk di rumahnya. Rara yang menjadi tulang punggung keluarga tetap semangat walaupun harus membiayai seluruh keluarganya. Rara yakin, ibunya di sana pasti mendukungnya. Menjelang pagi, Rara berlomba-lomba dengan mentari untuk sampai ke gerbang kota, bahkan biasanya Rara mengelilingi desa demi desa, agar semua orang dapat mengetahui dunia luar. Jasanya memang diakui orang demi orang yang membeli koran Rara. Tetapi tidak semua orang beranggap bahwa koran itu penting. Pernah seorang pemuda membeli koran Rara, tetapi koran itu tidak untuk dibaca, koran tersebut hanya sebagai kipas untuk menghilangkan rasa panas teriknya mentari. Rara kecewa, Rara mengembalikan uang yang telah diberikan oleh pemuda tersebut dan membiarkannya mengambil koran Rara. Rara pun pergi menemui orang-orang yang benar-benar ingin mengetahui dunia luar.
”Ca, aku pulang duluan ya, mau jualan koran nih”, sahut Rara tanpa rasa malu ketika bel sekolahnya berbunyi.
”Oke... hati-hati di jalan ya. Jangan pulang terlalu malam”, sahut Caca, sahabatnya karibnya. Tetapi Rara mengganggap Caca Raina Laila, sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Karena Caca terlihat lebih sedikit dewasa dari dirinya.
”Iya. Terima kasih sarannya”, sahut Rara berlalu.
Kemana-mana, Rara pasti membawa sepeda tuanya. Tidak seperti Caca, sahabatnya yang selalu diantar oleh sopir pribadi. Tetapi Rara tidak iri sama sekali. Punya sepeda saja sudah cukup baginya untuk memenuhi keinginannya. Pulang sekolah, Rara langsung pergi menemui orang yang ingin membeli korannya. Rara tidak pernah mengeluh sama sekali. Uang hasil korannya digunakan sebagian untuk berobat ayahnya, sebagian untuk membayar uang SPP sekolahnya dan sekolah adiknya perbulan, dan sebagian lagi, Rara tabung agar bisa kuliah di masa depan. Rara yang ingin menjual korannya ke kota, menyusuri hutan kecil yang lebat dan sungai kecil yang jembatannya telah roboh akibat banjir sebulan yang lalu. Rara mengikat sepedanya dan mengaitkannya ke pohon yang rindang. Rara rela basah terkena air sungai yang tingginya selutut demi sampai ke kota. Biasanya Rara membawa handuk kecil dan mengelap ke celananya yang basah agar bisa kering sebagian. Rara berjalan menuju gerbang kota. Rara sangat senang telah sampai ke gerbang kota. Dilangkahkan kakinya ke atas keramik-keramik indah yang terlentang di atas tanah kota. Rara mulai mencari orang yang ingin membeli korannya. Rara hanya meneriaki satu kata dalam satu detik yaitu koran. Seorang ibu membeli koran Rara yang ternyata tidak ikut basah terkena air sungai. Ternyata ibu tersebut seorang psikolog. Ibu psikolog yang bernama Ibu Canny membeli beberapa koran untuk ia baca di waktu senggang. Ibu Canny berpesan agar Rara datang ke kota setiap hari untuk dibeli korannya. Ibu Canny menunggu di samping pohon rindang yang dekat dengan air mancur kota. Rara sangat senang karena ibu Canny seorang psikolog anak telah berlangganan koran dengannya.
”Terima kasih, ibu telah membeli koran saya”, Rara tersenyum lebar.
”Sama-sama anakku. Jangan pantang menyerah, ibu akan selalu menunggumu setiap sore di bawah pohon rindang di samping air mancur kota”, sahut ibu sambil membalas senyum Rara.
”Baik, bu. Insya Allah, Rara bisa selalu datang membawa koran menemui ibu”, seru Rara.
”Terima kasih. Sekarang ibu ingin berbelanja. Ini ada tiga bungkus nasi untuk kamu, ayahmu dan adikmu”, Ibu Canny memberikan tiga bungkus nasi.
”Oh, terima kasih, Bu Canny. Saya sangat senang”, sahut Rara berterima kasih dan mohon pamit dengan Bu Canny.
Tak disangka, waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Rara pergi ke mushalla dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang ia bawa dari rumah dan ia taruh di tas plastiknya bersama mukena dan koran-korannya. Rara pun mengambil air wudhu dan shalat Zhuhur. Setelah shalat, Rara hanya mengganti celananya saja. Rara keluar dari mushalla dan pergi pulang ke rumahnya. Rara menyeberangi sungai dan langsung membuka tali yang mengikat sepedanya dengan pohon yang rindang. Rara melaju kencang sepedanya ke arah rumahnya yang kecil. Rara memberikan sebuah bungkus nasi kepada adiknya tercinta, Raila. Rara pun membuka sebungkus nasi dan menyuapkannya ke mulut ayahnya. Ayahnya terus mengunyah makanan yang disuapkan Rara. Tiba-tiba, ayahnya terbatuk. Rara pun cepat-cepat beranjak dan mengambil segelas air putih. Ditegukkannya ke mulut ayahnya. Ayah Rara sangat bangga kepada Rara yang masih ingin mengurusi ayahnya yang tidak berdaya lagi. Selesai makan, ayahnya disenderkan ke dinding kayu yang hampir roboh akibat dimakan rayap. Rara pun makan sesudah ayahnya kenyang. Adzan Ashar berkumandang. Rara dan Raila shalat di kamarnya sedangkan ayahnya shalat sambil berbaring di atas kasur kapuk yang kusam. Selesai shalat, Rara dan Raila pamit kepada ayahnya untuk pergi bermain sebentar. Ayah mereka pun mengizinkan, tetapi tepat pukul 17.30 harus sudah kembali ke rumah. Rara dan Raila pun menuruti ayahnya. Rara dan Raila bermain di sebuah lapangan kecil bersama teman-temannya. Mereka bermain olahraga kasti yang menjadi olahraga favorit Rara. Ketika jam menunjukkan pukul 17.15, Rara dan Raila mengusaikan permainannya dan berjalan kaki menuju rumahnya. Jarak rumah mereka dengan lapangan kecil tempat mereka bermain tadi agak sedikit jauh. Jadi, memerlukan waktu 15 menit untuk pergi dan pulang. Rara dan Raila pun sampai ke rumahnya dan mengucap salam. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Rara dan Raila terkejut melihat ayahnya yang terbaring kaku di atas kasur kapuknya. Seluruh badan ayahnya pucat dan dingin. Rara dan Raila pun menangis. Mereka sedih telah ditinggalkan ayahnya untuk selamanya. Pertama ibunya yang meninggalkan dirinya untuk selamanya, kini ayahnya pun menyusul keberadaan ibunya yang telah tiada. Rara dan Raila pun mengantarkan kepergian ayahnya sampai ke kuburan. Ibu Canny pun ikut membantu Rara dan Raila. Tetapi, Rara dan Raila berjanji tidak akan sedih terlalu lama hanya karena ditinggal pergi ayahnya. Beberapa hari tanpa keberadaan ayahnya terasa sepi. Hingga suatu malam, dahi Rara hangat. Raila menyadari bahwa kakaknya demam tinggi. Setiap malam, Raila rela tidak tidur demi membantu kakaknya yang gelisah dan menggantikan pakaian kakaknya yang basah karena keringat. Hingga berita itu, sampai ke telinga Bu Canny. Bu Canny langsung menjenguk Rara dan membantu Rara hingga Rara sembuh. Bu Canny menasihati Rara agar melupakan kesedihannya. Rara menuruti Bu Canny dan terus beristiqfar. Hingga akhirnya Rara sembuh selama menjalani pengobatan dua minggu. Rara dan Raila pun diangkat menjadi anak Bu Canny. Ternyata Bu Canny tidak memiliki anak. Bu Canny sangat sayang kepada kedua anak angkatnya. Kini Rara tidak berjualan koran lagi. Rara menyelesaikan kuliahnya di S3. Rara selalu menjadi juara kelas. Rara bersyukur kepada Allah karena telah berhasil lulus. Ayah dan ibunya disana pasti bangga melihat Rara dan Raila yang lulus di S3. Hingga suatu acara pernikahan diadakan, Rara bersanding dengan seorang lelaki pujaan hatinya di atas pelaminan. Kini, Rara mulai berkeluarga. Rara sangat berterima kasih kepada Bu Canny yang telah membantunya dan merawatnya. Tentu, terima kasih yang sebesar-besarnya, Rara ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
No comments:
Post a Comment