May 31, 2010

The Rainbow

“Hujannya deras ya, bi”, sahut Nadia.
“Ia… tapi nanti pelangi akan muncul”, bibi senang.
“Hah… pelangi. Pelangi itu kayak mana sih bi”, tanya Nadia yang ternyata berumur 4 tahun.
“Pelangi itu berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu”, jawab bibi mengajarkan Nadia.
“Oooo…jadi pelangi itu berubah-ubah ya bi”, Tanya Nadia.
“Hahaha… Bukan begitu. Nanti jika pelanginya sudah muncul. Bibi akan menjelaskannya lagi”, bibi tertawa.
Sejak hari itu, Nadia semakin menyukai pelangi. Nadia selalu meminta bibinya menceritakan tentang pelangi. Nadia terpesona melihat pelangi yang sangat indah. Setiap hujan, Nadia selalu menanti-nantikan pelangi. Tetapi tidak setiap hujan, Nadia menemukan pelangi. Walaupun Nadia kecewa, tetapi Nadia tetap senang bisa mengenal pelangi ciptaan Allah.
“Bibi, ceritakan tentang pelangi, dong. Nanti jika Nadia pintar, Ayah dan Ibu di surga pasti senang”, Nadia senang bercampur sedih.
“Iya, sayang. Sekarang berbaringlah di atas kasur. Cerita bibi akan menemani tidurmu”, bibi mulai bercerita.
Beberapa menit, Nadia mendengar cerita bibi. Nadia tertidur. Bibi yang menyadari kalau Nadia sudah terlelap, mengakhiri ceritanya. Bibi mengecup kening Nadia dan pergi meninggalkan kamar Nadia menuju kamar bibi sendiri. Nadia yang sudah terlelap bermimpi indah. Keesokan harinya, Nadia yang sudah terbangun melihat bibinya mengantarkan makanan.
“Assalamualaikum, Nadia. Sudah bangun, nih bibi bawakan sarapan pagi. Ada susu coklat hangat, minuman kesukaanmu”, sahut bibi ceria.
“Waalaikumsalam, terima kasih ya bi”, sahut Rini menjawab salam dan mengucap bismillah dan memulai makannya.
“Makan yang banyak ya”, sahut bibi.
“Iya… Bibi sudah makan”, Tanya Nadia.
“Belum, sebentar lagi bibi makan. Siap makan Nadia mandi ya. Bibi akan mengajak Nadia berbelanja”, sahut bibi menawarkan.
“Wah, terima kasih bibi, Nadia mau ikut”, sahut Nadia senang. :)
Setelah bersiap-siap, Nadia dan bibi pergi ke pasar. Di pasar, Nadia diajarkan cara tawar menawar. Nadia juga dibelikan satu paket pelangi. Nadia sangat senang. Sesampai di rumah, Nadia memajang sebuah pelangi di langit-langit kamarnya. Nadia berbaring di atas kasurnya dan memandang langit-langit kamarnya yang dihiasi pelangi. Ketika Nadia sedang menatap pelanginya, Bibi datang memasuki kamarnya yang telah terhias pelangi yang indah.
“Wah, kamar Nadia cantik, ya…”, sahut bibi terpesona.
“Iya, bi. Nanti kalau Nadia sudah besar, Nadia ingin menjadi ahli pelangi”, Nadia yang sudah membulatkan tekadnya bercita-cita menjadi ahli pelangi.
“Boleh, Bibi bangga dengan Nadia”, sahut bibi senang.
Bertahun-tahun, Nadia belajar dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Akhir. Kemudian, Nadia melanjutkan kuliahnya. Selesai kuliah, Nadia mulai lebih mendalami pelajaran tentang pelangi. Hingga cita-citanya terwujudkan. Ketika Nadia berumur 24 tahun, bibi yang sangat Nadia sayangi meninggal. Ketika, Nadia berumur 25 tahun, Nadia menikah dengan seorang lelaki. 2 tahun sesudah menikah, Nadia melahirkan seorang anak perempuan yang cantik dan diberi nama Putri Pelangi. Nadia dan suaminya merawat Putri dengan kasih sayang hingga Putri besar.

Mar 6, 2010

Harapan Menuju Gerbang Dunia

“Koran… Koran”, sahut seorang gadis cilik yang bernama Rara Rabia.
Rara adalah seorang anak piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya, Raila Rabia. Rara dan Raila hanya berbeda umur 1 tahun. Oleh karena itu, Rara hanya mendapat kasih sayang yang sebentar. Kemudian, ibunya hamil dan harus mengurusi kehamilannya. Hingga ketika melahirkan adiknya, ibunya meninggal karena pendarahan. Tetapi Rara masih mempunyai ayah, ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Hanya bisa berbaring di atas kasur kapuk di rumahnya. Rara yang menjadi tulang punggung keluarga tetap semangat walaupun harus membiayai seluruh keluarganya. Rara yakin, ibunya di sana pasti mendukungnya. Menjelang pagi, Rara berlomba-lomba dengan mentari untuk sampai ke gerbang kota, bahkan biasanya Rara mengelilingi desa demi desa, agar semua orang dapat mengetahui dunia luar. Jasanya memang diakui orang demi orang yang membeli koran Rara. Tetapi tidak semua orang beranggap bahwa koran itu penting. Pernah seorang pemuda membeli koran Rara, tetapi koran itu tidak untuk dibaca, koran tersebut hanya sebagai kipas untuk menghilangkan rasa panas teriknya mentari. Rara kecewa, Rara mengembalikan uang yang telah diberikan oleh pemuda tersebut dan membiarkannya mengambil koran Rara. Rara pun pergi menemui orang-orang yang benar-benar ingin mengetahui dunia luar.
”Ca, aku pulang duluan ya, mau jualan koran nih”, sahut Rara tanpa rasa malu ketika bel sekolahnya berbunyi.
”Oke... hati-hati di jalan ya. Jangan pulang terlalu malam”, sahut Caca, sahabatnya karibnya. Tetapi Rara mengganggap Caca Raina Laila, sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Karena Caca terlihat lebih sedikit dewasa dari dirinya.
”Iya. Terima kasih sarannya”, sahut Rara berlalu.
Kemana-mana, Rara pasti membawa sepeda tuanya. Tidak seperti Caca, sahabatnya yang selalu diantar oleh sopir pribadi. Tetapi Rara tidak iri sama sekali. Punya sepeda saja sudah cukup baginya untuk memenuhi keinginannya. Pulang sekolah, Rara langsung pergi menemui orang yang ingin membeli korannya. Rara tidak pernah mengeluh sama sekali. Uang hasil korannya digunakan sebagian untuk berobat ayahnya, sebagian untuk membayar uang SPP sekolahnya dan sekolah adiknya perbulan, dan sebagian lagi, Rara tabung agar bisa kuliah di masa depan. Rara yang ingin menjual korannya ke kota, menyusuri hutan kecil yang lebat dan sungai kecil yang jembatannya telah roboh akibat banjir sebulan yang lalu. Rara mengikat sepedanya dan mengaitkannya ke pohon yang rindang. Rara rela basah terkena air sungai yang tingginya selutut demi sampai ke kota. Biasanya Rara membawa handuk kecil dan mengelap ke celananya yang basah agar bisa kering sebagian. Rara berjalan menuju gerbang kota. Rara sangat senang telah sampai ke gerbang kota. Dilangkahkan kakinya ke atas keramik-keramik indah yang terlentang di atas tanah kota. Rara mulai mencari orang yang ingin membeli korannya. Rara hanya meneriaki satu kata dalam satu detik yaitu koran. Seorang ibu membeli koran Rara yang ternyata tidak ikut basah terkena air sungai. Ternyata ibu tersebut seorang psikolog. Ibu psikolog yang bernama Ibu Canny membeli beberapa koran untuk ia baca di waktu senggang. Ibu Canny berpesan agar Rara datang ke kota setiap hari untuk dibeli korannya. Ibu Canny menunggu di samping pohon rindang yang dekat dengan air mancur kota. Rara sangat senang karena ibu Canny seorang psikolog anak telah berlangganan koran dengannya.
”Terima kasih, ibu telah membeli koran saya”, Rara tersenyum lebar.
”Sama-sama anakku. Jangan pantang menyerah, ibu akan selalu menunggumu setiap sore di bawah pohon rindang di samping air mancur kota”, sahut ibu sambil membalas senyum Rara.
”Baik, bu. Insya Allah, Rara bisa selalu datang membawa koran menemui ibu”, seru Rara.
”Terima kasih. Sekarang ibu ingin berbelanja. Ini ada tiga bungkus nasi untuk kamu, ayahmu dan adikmu”, Ibu Canny memberikan tiga bungkus nasi.
”Oh, terima kasih, Bu Canny. Saya sangat senang”, sahut Rara berterima kasih dan mohon pamit dengan Bu Canny.
Tak disangka, waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Rara pergi ke mushalla dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang ia bawa dari rumah dan ia taruh di tas plastiknya bersama mukena dan koran-korannya. Rara pun mengambil air wudhu dan shalat Zhuhur. Setelah shalat, Rara hanya mengganti celananya saja. Rara keluar dari mushalla dan pergi pulang ke rumahnya. Rara menyeberangi sungai dan langsung membuka tali yang mengikat sepedanya dengan pohon yang rindang. Rara melaju kencang sepedanya ke arah rumahnya yang kecil. Rara memberikan sebuah bungkus nasi kepada adiknya tercinta, Raila. Rara pun membuka sebungkus nasi dan menyuapkannya ke mulut ayahnya. Ayahnya terus mengunyah makanan yang disuapkan Rara. Tiba-tiba, ayahnya terbatuk. Rara pun cepat-cepat beranjak dan mengambil segelas air putih. Ditegukkannya ke mulut ayahnya. Ayah Rara sangat bangga kepada Rara yang masih ingin mengurusi ayahnya yang tidak berdaya lagi. Selesai makan, ayahnya disenderkan ke dinding kayu yang hampir roboh akibat dimakan rayap. Rara pun makan sesudah ayahnya kenyang. Adzan Ashar berkumandang. Rara dan Raila shalat di kamarnya sedangkan ayahnya shalat sambil berbaring di atas kasur kapuk yang kusam. Selesai shalat, Rara dan Raila pamit kepada ayahnya untuk pergi bermain sebentar. Ayah mereka pun mengizinkan, tetapi tepat pukul 17.30 harus sudah kembali ke rumah. Rara dan Raila pun menuruti ayahnya. Rara dan Raila bermain di sebuah lapangan kecil bersama teman-temannya. Mereka bermain olahraga kasti yang menjadi olahraga favorit Rara. Ketika jam menunjukkan pukul 17.15, Rara dan Raila mengusaikan permainannya dan berjalan kaki menuju rumahnya. Jarak rumah mereka dengan lapangan kecil tempat mereka bermain tadi agak sedikit jauh. Jadi, memerlukan waktu 15 menit untuk pergi dan pulang. Rara dan Raila pun sampai ke rumahnya dan mengucap salam. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Rara dan Raila terkejut melihat ayahnya yang terbaring kaku di atas kasur kapuknya. Seluruh badan ayahnya pucat dan dingin. Rara dan Raila pun menangis. Mereka sedih telah ditinggalkan ayahnya untuk selamanya. Pertama ibunya yang meninggalkan dirinya untuk selamanya, kini ayahnya pun menyusul keberadaan ibunya yang telah tiada. Rara dan Raila pun mengantarkan kepergian ayahnya sampai ke kuburan. Ibu Canny pun ikut membantu Rara dan Raila. Tetapi, Rara dan Raila berjanji tidak akan sedih terlalu lama hanya karena ditinggal pergi ayahnya. Beberapa hari tanpa keberadaan ayahnya terasa sepi. Hingga suatu malam, dahi Rara hangat. Raila menyadari bahwa kakaknya demam tinggi. Setiap malam, Raila rela tidak tidur demi membantu kakaknya yang gelisah dan menggantikan pakaian kakaknya yang basah karena keringat. Hingga berita itu, sampai ke telinga Bu Canny. Bu Canny langsung menjenguk Rara dan membantu Rara hingga Rara sembuh. Bu Canny menasihati Rara agar melupakan kesedihannya. Rara menuruti Bu Canny dan terus beristiqfar. Hingga akhirnya Rara sembuh selama menjalani pengobatan dua minggu. Rara dan Raila pun diangkat menjadi anak Bu Canny. Ternyata Bu Canny tidak memiliki anak. Bu Canny sangat sayang kepada kedua anak angkatnya. Kini Rara tidak berjualan koran lagi. Rara menyelesaikan kuliahnya di S3. Rara selalu menjadi juara kelas. Rara bersyukur kepada Allah karena telah berhasil lulus. Ayah dan ibunya disana pasti bangga melihat Rara dan Raila yang lulus di S3. Hingga suatu acara pernikahan diadakan, Rara bersanding dengan seorang lelaki pujaan hatinya di atas pelaminan. Kini, Rara mulai berkeluarga. Rara sangat berterima kasih kepada Bu Canny yang telah membantunya dan merawatnya. Tentu, terima kasih yang sebesar-besarnya, Rara ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Mar 4, 2010

Rangkaian Kasih Sayang

”Rara, besokkan papa ulang tahun. Rara kasih apa ?," tanya Lolita.
”Pastinya yang spesial, dong. Kak Lolita gak boleh tau. Besok saja, ketika papa buka kadonya," Rara merahasiakan hadiahnya.
”Yah, kok main rahasia-rahasiaan sih. Ya sudahlah gak apa-apa. Kalau bang Adri," tanya Lolita pula kepada abangnya.
”Enak, aja. Gak mau, ah. Abang kasih tau. Nanti Ayu ikut-ikutan pula lagi," Adri ternyata juga merahasiakannya.
”Yah, mana mungkinlah. Lolitakan udah ada hadiah spesial buat papa. Ngapain Lolita ikut-ikutan Bang Adri," Lolita tidak membenarkan ucapan Adri.
”Wah, sudah punya hadiah buat papa, ya. Apa itu ? Kasih tau dong," sahut Rara dan Adri serentak.
”Enak, aja. Tadi Bang Adri dan Rara enggak mau kasih taukan. Kalau begitu, Lolita juga gak mau kasih tahu. Secret, tau," Lolita pun juga merahasiakan hadiahnya.
”Ya udah, kalau gak mau kasih tau. Nanti juga tau sendiri, kok," sahut Rara mengabaikan.
”Betul. Nanti juga tau sendiri. Gak perlu penasaran sampai setinggi langit," sahut Adri ikut-ikutan.
”Ya udah. Udah, ya. Lolita enggak mau bedebat lagi. Mau shalat Isha, ni. Habis shalat, tidur, deh. Mata Lolita udah seperti di sangkut besi seberat 5 ton. Udah hampir enggak sanggup buka mata lagi," Lolita ngantuk.
”Hoam... Rara juga ngantuk, nih. Bye, Bang Adri. Selamat malam," Rara juga ngantuk.
Setelah shalat Isha, Lolita dan Rara tidur di atas kasur yang empuk di kamar tidur. Adri yang belum ngantuk, membaca komik sebelum tidur. Papa dan mama mengecup kening Lolita dan Rara dan tidak lupa mengucapkan selamat tidur. Mereka sekeluarga pun terlelap di malam yang cuacanya mendung. Mereka tidur diiringi rintik-rintik hujan yang lama-kelamaan turun deras. Di hari pagi yang sangat cerah setelah hujan, tepatnya pukul 05.00. Lolita, Rara dan Adri pun bangun tanpa sepengetahuan papa dan mama. Pagi ini, mereka sengaja mengadakan suprise sekalian mengucapkan selamat ulang tahun kepada Papa. Lolita yang diajari mama memasak, kini sudah mulai pandai memasak telur mata sapi spesial. Rara membantu Adri membersihkan meja makan dan menaruh piring kaca di atasnya. Lolita yang sudah selesai memasak telur mata sapi spesial dan menanak nasi, menyiapkan hidangannya di atas meja makan. Kini semuanya telah selesai. Azan Shubuh berkumandang. Lolita dan Rara hendak membangunkan papa dan mama. Ketika pintu di buka, ternyata papa dan mama, sudah bangun duluan dan hendak bersiap-siap mengambil air wudhu. Mereka berlima pun shalat Shubuh berjamaah. Selesai shalat, Lolita dan Rara menutup mata papa dan mama dengan sehelai kain. Dan mengantarkan mereka ke dapur.
”Hmm... wangi sekali," sahut papa sebelum membuka kain yang menutupi matanya.
”Hmm... Wangi apa ya," sahut mama yang juga belum membuka kain yang menutupi matanya. Lolita dan Rara pun membuka kain yang menutupi mata mama dan papa.
”Suprise”, kata Lolita, Rara dan Adri serentak.
”Masya Allah, ini Lolita yang masak," tanya mama kaget melihat hidangan di atas meja.
”Alhamdulillah, telur mata sapi kesukaan papa. Terima kasih ya Rara, Lolita, Adri," sahut Papa dan mama memeluk mereka bertiga.
Lolita, Rara, dan Adri pun memberi kado ulang tahun yang sudah disiapkan tadi malam kepada papa. Papa mencium kening Lolita, Rara, dan Adri. Begitu pula mama, tidak lupa pula mama mencium pipi mereka bertiga. Mereka sekeluarga pun mencicipi makanan buatan Lolita, tentunya setelah selesai berdoa. Tepatnya pukul 06.00, mereka sekeluarga pun bersiap-siap. Setelah mandi, Lolita, Rara, dan Adri pun berpakaian seragam sekolah. Papa yang sudah wangi memakai pakaian kantoran. Mama memakai pakaian paramedis. Lolita, Rara, dan Adri pun menyalami papa dan mama sebelum berangkat ke sekolah. Setelah semuanya siap, papa pun mengantarkan, Lolita, Rara, dan Adri dengan mobil Kijang Innova. Sesudah sampai di sekolah, Lolita, Rara, dan Adri pun pergi melangkahkan kaki keluar mobil dengan melontarkan senyum hangat yang ceria kepada papa yang umurnya bertambah.

Kejutan Ulang Tahun

”Wah, besok Bu Daini ulang tahun”, sahut Rini kepada Cahya, Tania dan Unny.
”Kasih apa, ya”, tanya Cahya sambil berpikir.
”Mmm… Bagaimana kalau kita kasih sebuah jam”, tiba-tiba Rini mendapatkan sebuah ide.
”Wah, ide yang bagus”, sahut Tania.
”Iya... Bagaimana kalau kita kumpulkan uang dari teman-teman kita sekelas”, Unni menjelaskan.
”Iya, nanti kita bilang ke teman-teman, kalau uang yang kita kumpulkan, untuk membeli sebuah jam yang kita sekelas hadiahkan untuk Bu Daini”, sahut Rini senang.
”Oh, ya. Ngomong-ngomong, kemarin aku ke toko jam. Terus, aku lihat ada sebuah jam yang indah banget. Mungkin jam itu cocok buat Bu Daini”, Cahya memberitahu.
”Boleh juga, tuh. Nanti Cahya aja yang beli sekalian Cahya yang bungkus”, Tania memberitahu Cahya.
”Oke. Yuk, kita ke kelas”, Unny mengajak Rini, Unny dan Tania.
Mereka pun meninggalkan taman dan memasuki kelas mereka. Cahya pun menjelaskan ide mereka berempat kepada Raina. Raina pun menyampaikan ide mereka kepada teman-teman sekelas. Tidak disangka, ternyata teman-teman setuju akan ide mereka berempat dan mulai mengumpulkan uang ke bendahara yaitu Rini. Setelah semuanya mengumpulkan uang, Rini mulai menghitung berapa uang yang didapatkan. Selesai menghitung Rini menyerahkannya uang tersebut kepada Cahya. Cahya pun menyimpan uang tersebut baik-baik sampai Cahya pergi ke toko jam. Keesokan harinya, Cahya yang membawa bungkusan kado yang berisi jam langsung dikerumuni teman-temannya.
”Cahya, model jamnya seperti apa ?”, tanya Rini penasaran.
”Yang ini, nih. Indahkan. Oh, ya, teman-teman, jadi kemarin sisa uang yang sudah melebihi harga jam. Cahya masukkan ke kotak amal”, Cahya menunjukkan kertas yang bergambar jam yang Cahya pilih dan memberitahu teman-temannya yang Cahya kerjakan pada uang sisa tersebut. Cahya pun menunjukkan kertas yang bergambar jam pilihan Cahya kepada Nayla.
”Wah, cantik sekali”, sahut Nayla yang berbahasa baku.
”Iya, modelnya bukan model jaman, tapi model terbaru”, Mika kagum melihat kertas yang bergambar jam yang Cahya pilih.
Kriiing...
”Wah, lonceng sudah berbunyi. Yuk, kita duduk di bangku masing-masing. Sebentar lagi Bu Daini datang”, sahut seorang ketua kelas memperingati yaitu Nafar.
”Assalamualaikum. Berdoa mulai”, sahut Bu Daini seperti biasa.
”Waalaikumsalam”, sahut mereka semua serentak.
Mereka pun berdoa bersama-sama. Selesai berdoa, Bu Daini duduk di kursinya dan menatap semua anak-anak.
”Pak”, Vidi menyahut memberanikan diri.
”Ya, ada apa Vidi”, Bu Daini mempersilahkan Vidi bicara.
Vidi mengangguk kepada Raina dan membiarkan Raina berbicara.
”Begini, Bu. Jadi, hari inikan hari ulang tahun ibu”, Raina lanjut menggangguk kepada Rini.
”Kami sekelas ingin memberikan ibu sebuah hadiah yang sederhana”, Rini, Raina, Nafar dan Vidil pun maju ke depan. Rini dan Raina menyerahkan sebuah bungkusan kado kepada Bu Daini.
”Terima kasih, anak-anak telah mengingat hari ulang tahun, ibu. Boleh ibu buka ?”, tanya Bu Daini.
”Boleh, Bu”, jawab mereka semua serentak.
Bu Daini pun membuka bungkusan kado tersebut dan melihat jam yang indah. Bu Dani sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada anak-anak. Teman-teman pun menyalami Bu Daini. Bu Daini menyalami anak-anak muridnya tercinta satu persatu. Mereka pun memulai pelajaran IPS dengan mengucap basmallah dan diikuti tawa ceria di pagi yang cerah ini.

Feb 27, 2010

Perpustakaan

Perpustakaan adalah gudang ilmu pengetahuan. Perpustakaan sangat bermanfaat bagi kita semua. Orang yang ingin maju pasti mempunyai keinginan untuk mengunjungi perpustakaan-perpustakaan.
Dengan adanya perpustakaan, kita dapat mengetahui apa yang dulunya tidak kita ketahui dengan cara membaca buku. Dengan banyaknya membaca buku, pengetahuan kita akan semakin meluas. Di perpustakaan, kita dapat menemui informasi-informasi yang sangat penting bagi kehidupan kita sehari-hari.
Berbagi peraturan pun diterapkan dalam penggunaan perpustakaan. Mulai dari peletakkan buku, peminjaman buku, pengembalian buku dan lain-lain. Ada juga peraturan yang kita terapkan agar perpustakaan bersih dan nyaman, seperti pengunjung atau siswa harus bisa tetap menjaga ketentraman di dalam pustaka, jika buku yang telah selesai dibaca harus dikembalikan ke tempat semula sesuai klasifikasinya. Di perpustakaan, kita juga tidak dibenarkan membawa buku lain ke dalam perpustakaan, dilarang makan dan minum di dalam perpustakaan dan tidak boleh meminjam buku memakai kartu orang lain.
Dalam penyusunan buku terbagi atas 10 klasifikasi. Yang pertama, dari angka 000-099 adalah buku-buku yang bersifat umum, seperti Atlas dan Ensiklopedia. Yang ke dua, dari angka 100-199 adalah buku-buku tentang filsafat. Yang ke tiga, dari angka 200-299 adalah buku-buku tentang agama, seperti buku Agama Islam yang membimbing kita untuk lebih memahami Islam. Yang ke empat, dari angka 300-399 adalah buku-buku tentang sosial. Yang ke lima, dari angka 400-499 adalah buku-buku tentang bahasa, berbagai bahasa dapat kita temui di tempat penyusunan buku yang bernomor angka 400-499. Yang ke enam, dari angka 500-599 adalah buku-buku tentang ilmu-ilmu murni. Yang ke tujuh, dari 600-699 adalah buku-buku tentang teknologi. Yang ke delapan, dari angka 700-799 adalah buku-buku tentang seni dan olahraga, di sini dapat kita temui seni-seni budaya dan olahraga-olahraga yang menyehatkan tubuh. Yang ke sembilan, dari angka 800-899 adalah buku-buku tentang sastra, di sini dapat kita temui berbagai sastra, seperti pantun, puisi, cerpen dan lain-lain. Yang ke sepuluh, dari 900-999 adalah buku-buku tentang sejarah, seperti sejarah-sejarah Malin Kundang dan lain-lain. Dengan adanya klasifikasi di setiap perpustakaan, pengambilan buku akan mempermudah pengunjung atau siswa dan penyusunan buku akan terlihat lebih rapi sesuai jenis bukunya.

Leukemia

Sore itu, Catrine terbaring lemas di atas kasur. Tubuhnya seakan tidak berdaya sama sekali. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Matanya terasa sangat berat, seakan tak dapat di buka lagi. Setetes darah mengalir keluar dari hidungnya. Catrine merasa sangat takut. Catrine tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi kepadanya. Catrine menghela nafas dalam-dalam. Tak terasa air mata telah menetes di pipinya yang dingin. Tubuhnya terasa diguncang-guncangkan oleh seseorang. Catrine hanya bisa mendengar seseorang menjerit sambil menangis. Tiba-tiba tubuhnya terasa melayang. Catrine merasa seseorang telah membawanya pergi. Catrine hanya bisa bergumam di dalam hati, ”Kemana aku akan pergi ? Apa aku akan kembali kepada-Nya ?”, Catrine hanya bisa pasrah.
Ternyata mata Catrine masih dapat terbuka. Catrine sangat bersyukur kepada-Nya. Tetapi kini Catrine berada di sebuah ruangan. Catrine melihat ibunya berada di sampingnya, sambil menangis memegang tangannya. Ibunya menatap wajahnya yang polos dengan penuh harapan. Ketika dilihatnya mata Catrine yang sudah terbuka, ibu Catrine memeluk Catrine erat-erat. Air mata mengalir di pipi ibunya. Ingin rasanya Catrine menangis melihat ibunya yang terus-menerus bersyukur kepada-Nya, karena Catrine belum dipanggil oleh-Nya. Senyum bahagia tersungging di bibir ibunya.
Dipanggilnya dokter yang akan memeriksa Catrine. Dokter juga ikut bahagia melihat Catrine yang sudah siuman. Tetapi perasaan bahagia dokter seakan-akan hilang, ketika mengetahui penyakit yang di derita Catrine. Dokter membicarakan semua yang ia periksa selama Catrine siuman. Dokter meminta maaf karena telah melukai hati ibu Catrine setelah mendengar penyakit yang di derita Catrine.
”Astagfirullah, dokter pasti bohongkan ? Anak saya tak mungkin menderita kanker darah”, ibu menangis tidak percaya.
”Maafkan saya, Bu. Ibu mungkin tidak percaya ini. Tetapi saya sudah periksa sedetil mungkin. Sekali lagi saya minta maaf, anak ibu terkena penyakit leukemia”, dokter merasa bersalah.
”Tidak, dokter tidak bersalah. Mugkin saya belum terbiasa menerima kenyataan ini. Tolong rawat Catrine dengan ketulusan hati dokter sehingga Catrine bisa sembuh. Saya mohon dokter”, ibu memohon.
”Baik, saya akan merawatnya semampu-mampunya saya”, sahut dokter lega.
”Terima kasih, dokter. Sekarang saya harap, saya bisa bertemu anak saya”, ibu berharap.
”Silahkan... Ibu boleh bertemu Catrine sekarang juga. Mungkin Catrine sedang membutuhkan ibu”, dokter mengizinkan.
Ibu pun melangkahkan kakinya keluar ruang dokter menuju ruang rawat Catrine. Ibu melihat Catrine terbaring lemas di atas kasur. Ibu mendekati Catrine dan menggenggam tangannya erat-erat.
”Catrine sakit apa, Bu ?”, sahut Catrine lemas.
”Maafkan ibu, Catrine. Mungkin ibu tidak akan mengatakannya sekarang. Tetapi ibu janji akan memberitahukan Catrine. Sekarang Catrine minum obat dan tidur ya”, sahut ibu sambil tersenyum tipis.
”Baik, Bu”, sahut Catrine menuruti apa yang ibunya katakan.
Dimalam yang diterangi bulan purnama ini, terasa sangat indah. Catrine yang sudah ingin terlelap merasa nyaman berada di samping ibunya. Ibunya mengelus-ngelus kepala Catrine sampai keduanya terlelap di malam yang bertaburan bintang.
Di pagi hari yang cerah. Catrine melihat ibunya sedang mengambil sarapan pagi yang diantarkan seorang suster yang cantik. Tak lupa pula, dilontarkan senyuman hangat kepada suster dan ibunya.
”Selamat pagi, Catrine”, suster menyapa.
”Selamat pagi, suster”, Catrine balik menyapa.
”Dimakan ya sarapan paginya”, sahut suster ceria.
”Baik, suster”, sahut Catrine ceria pula.
Suster pun meninggalkan ruangan bernomor 210 yang sekarang sedang ditempati Catrine. Ibu Catrine mengantarkan makanan yang diantarkan suster tadi ke tempat Catrine.
”Catrine... nih, sarapan paginya. Ada susu coklat hangat dan sepotong roti keju kesukaan Catrine. Oh, ya apel dan pir juga ada loh... Makan yang banyak ya supaya Catrine sehat”, ibu senang.
”Terima kasih ibu. Slurrp... Susu coklat hangatnya enak dan manis. Mmm... roti kejunya juga enak banget. Alhamdulillah, hari ini Catrine tetap makan seperti biasa. Tidak seperti orang-orang miskin yang mungkin belum makan, mudah-mudahan orang-orang miskin dapat makan seperti Catrine juga”, sahut Catrine.
”Amin... Alhamdulillah, anak ibu berhati mulia”, ibu mencium pipi dan kening Catrine.
Setelah selesai makan. Ibu mengantarkan makanan yang sudah dihabiskan Catrine ke ruang dapur rumah sakit. Ibu pun kembali dan duduk disamping Catrine.
”Ibu... Sekarang Catrine sudah boleh tau belum penyakit apa yang di derita Catrine”, Catrine memohon.
”Baiklah. Tapi Catrine janji dengan ibu, tidak akan sedih berlama-lama dan sampai-sampai putus asa. Catrine, maukan janji sama ibu”, ibu memberi syarat.
”Baik, ibu. Catrine tidak akan sedih berlama-lama sampai-sampai putus asa. Catrine akan menerima semuanya walaupun akan merenggut nyawa Catrine”, sahut Catrine pasrah.
”Catrine menderita penyakit Leukemia, Catrine tidah sedihkan. Catrine tetap semangatkan”, tanya ibu sambil terisak tangis.
”Astagfirullah... Ya Allah... Leukemia, kanker darah ?”, Catrine terkejut sambil menangis. ”Tidak apa-apa kok, Bu. Catrine menerima apa adanya kok. Catrine akan menerima semua cobaan yang diberikan oleh-Nya”, sahut Catrine reda.
”Ibu, salut sama Catrine. Ibu akan selalu mendukung Catrine”, sahut ibu bangga.
Catrine pun mencium tangan ibunya. Ibunya memeluk Catrine erat-erat seakan tak ingin dilepaskan. Catrine pun ditidurkan di atas kasur yang empuk.
Berbulan-bulan Catrine menaggung semua penderitaannya. Tetapi Catrine mempunyai semangat hidup. Catrine yakin, suatu saat ia pasti akan sembuh. Rambutnya yang sudah rontok akibat efek obat, berceceran di atas bantal. Kepalanya yang sudah mulai botak ditutupi dengan topi. Bibirnya yang semakin hari semakin pucat, tetap selalu tersenyum. Walaupun semakin hari keadaannya semakin memburuk Catrine tampak tetap bahagia. Tidak ada perasaan putus asa pun terasa olehnya. Ibunya juga tetap setia menemaninya dari hari kehari. Hingga suatu saat nanti, Catrine pasti akan sembuh dan bisa bermain-main lagi bersama teman-temannya.

Majalah Desty

”Hoamm... Enaknya tidur semalam”, Rini menguap.
”Rini... Bangun ntar telat ke sekolah”, Mom menegur dari luar kamar Rini.
”Baik Mom”, Rini bergegas ke kamar mandi. Di ambilnya handuk bermotif bebek kesukaannya. Setelah mandi, Rini berpakaian dan sholat Shubuh. Selesai sholat, Rini berdoa dan berlari ke dapur. Diambilnya sepotong roti dan dioleskannya selai stroberi di atasnya. Stroberi adalah buah kesukaannya.
”Mom, aku berangkat dulu ya. Assalamualaikum...”, Rini mengucap salam.
”Waalaikumsalam... Hati-hati ya anak”, Mom menjawab salam Rini.
Rini tidak menyahut lagi. Karena bis sekolahnya hampir sudah datang. Sebelum menaiki bis, Rini melihat sesuatu di dalam kotak suratnya. Tetapi Rini tidak mempedulikannya. Rini terus melangkahkan kakinya masuk ke dalam bis. Bis pun berangkat. Di dalam bis, Rini duduk di samping sahabat karibnya, Yola.
”Hai... Yola. Mimpi apa semalam ? Kok pagi ini rasanya mukamu cerah banget deh..., Rini heran.
”Hah... Emang setiap hari muka aku cerah, kok. Oh, ya mau tau kenapa muka aku lebih cerah dari biasanya ?, tanya Yola.
”Yep... kenapa nih. Kasih tau dong, sama sahabat karibmu”, Rini penasaran.
”Begini ni... Tadi pagi, di kotak suratku ada sesuatu. Mumpung bisnya belum datang. Jadinya, aku lihat-lihat dulu. Dan ternyata di dalamnya ada sebuah majalah yang berjudul Desty. Karena penasaran, aku membacanya. Aku lihat di situ, ada tips diet. Yah... Jadinya muka aku makin cerah sekarang, kalo membayangkan nanti aku langsing”, Yola yang gendut ternyata senang sekali karena telah mendapatkan tips diet dari majalah Desty.
”Wah... pantesan tadi pagi, aku lihat ada sesuatu di dalam kotak suratku. Mungkin itu majalah Desty”, Rini senang.
”Kata Momku, majalah Desty itu gratis untuk Komplek kita. Majalah Desty biasanya terbit setiap seminggu sekali”, sahut Yola.
”Wah... yang benar ? Jadi penasaran deh, pingin cepat-cepat baca. Oh, ya... aku tunggu ya kelangsingan tubuhmu. Haha..., celoteh Rini sambil tertawa.
”Haha... kamu bisa aja deh...”, sahut Yola.
Setelah beberapa menit di dalam bis, Rini dan teman-temannya turun dari bis menuju sekolahnya. Sekolahnya yang bernama Internasional School sangat populer. Rini menggandeng Yola, dan berjalan menuju kelas 3-5. Kelas 3-5 adalah kelas inti. Rini yang pintar duduk di barisan paling depan, dan ditemani Yola di sampingnya. Tiba-tiba, Putri, anak yang paling imut di kelasnya mendekat.
”Rin, Yol... sudah baca majalah Desty nggak tadi pagi”, tanya Putri sambil tersenyum ceria.
”Mmm... kalo aku belum, tapi Yola sudah”, sahut Rini membalas senyuman Putri.
”Yol, apa yang menurutmu menarik di majalah Desty itu ?, tanya Putri.
”Di majalah Desty itu, aku dapat tips diet. Kalo kamu ?, Yola tertawa kecil.
”Haha... Kalo aku dapat tips kecantikan”, sahut Putri.
”Hah... Tips kecantikan ? Wah... Aku mau bacalah, siapa tau jerawat di mukaku bisa hilang dan kulitku mulus kembali”, Rini gembira.
”Jerawat ? Mana jerawatmu ?”, tanya Yola dan Putri bersamaan.
”Di sini ni...”, Rini malu. Ternyata jerawatnya yang kecil tertutup oleh jilbabnya.
”Gak usah malu tau, aku juga punya”, sahut Putri.
”Aku juga. Nih, ada di dahiku”, Yola tersenyum.
”Hahahaha...”, tawa mereka bersamaan.
Ternyata bel masuk pun berbunyi. Putri yang mendatangi kursi Rini dan Yola, duduk ke bangkunya sendiri. Mrs. Erni pun datang dan mengajarkan pelajaran B. Inggris.
Setelah semua jadwal telah di ajarkan guru-gurunya. Rini dan teman-temannya pulang sekolah. Hari ini, Rini sengaja minta di jemput oleh Momnya. Karena dari tadi, Rini penasaran, ingin cepat-cepat membaca majalah Desty. Sesampai di rumah, Rini cepat-cepat turun dari mobil Kijang Innovanya dan berlari ke kotak surat. Ketika di buka kotak suratnya, Rini tidak menemukan apa-apa. Rini bertanya kepada momnya. Ternyata momnya sudah mengambil majalah Desty tadi pagi dan membacanya. Rini cepat-cepat ke ruang santai dan mengambil majalah Desty. Dibawanya majalah Desty ke kamarnya. Sesampai di kamar, Rini mengunci kamarnya dan membaca majalah Desty di atas kasurnya.
”Mmmm... mana ya tips kecantikannya”, Rini membolak-balik majalah Desty miliknya.
”Ini dia... Halaman 20, Mana ya tentang jerawat”, tanya Rini kepada diri sendiri.
”Mmm... Akhirnya dapat juga. Aku mulai baca deh, jerawat tidak boleh disentuh. Gak boleh ya ? Padahal tiap hari aku nyentuh jerawat aku sendiri”, Rini nyengir sendiri.
Setelah beberapa jam, Rini membolak-balik majalahnya. Rini merasa lelah dan tertidur di atas kasur bergambar stroberi kesukaannya. Beberapa hari, Rini menuruti tips kecantikan majalahnya. Jerawatnya mulai sembuh. Rini sangat senang. Pada hari Sabtu yang libur, Rini mengajak Yola shopping di Mall. Rini janji ketemuan di samping Minimarket dekat Mall pada jam 08.00 pagi.
”Yola, kok datangnya lama banget sih. Inikan sudah lewat 15 menit. Biasanya kan, kalau ada janjian. Pasti aku yang telat ”, Rini ngomong sendiri.
”Hai, Rini. Maaf ya, aku telat. Habisnya kamu ngajak aku, waktu aku baru bangun tidur sih”, sahut Yola.
”Gak apa-apa, kok. Eh, kayaknya Yola sudah agak kurusan deh...”, Rini heran.
”Yah, ketahuan deh. Aku sudah coba diet. Alhamdulillah, hasilnya menggembira kan”, sahut Yola senang.
”Baguslah, kalau begitu. Yuk, kita ke mall”, sahut Rini.
”Eh... tunggu dulu. Kayaknya jerawatmu juga sudah hilang, deh”, sahut Yola.
”Hahaha... Akhirnya kamu sadar juga. Iya nih, Alhamdulillah jerawat aku sudah sembuh”, sahut Rini senang pula.
”Aku jadi senang, deh. Yuk, ke mall”, Yola menggandeng tangan Rini.
Di dalam mall, Rini yang sudah lama tidak bermain Timezone mengajak Yola bermain mainan yang digemarinya. Rini dan Yola mencoba-coba permainan yang sangat mereka sukai. Rini dan Yola banyak mendapatkan tiket dan menukarnya dengan dua buah boneka yang berwarna hijau. Rini dan Yola menyimpannya sebagai tanda bahwa Yola adalah teman sejati bagi Rini dan Rini adalah teman sejati bagi Yola. Sesudah puas di dalam mall, Rini dan Yola pulang dengan rasa gembira. Sesampai di rumah, Rini dikejutkan oleh sebuah suara yang ternyata suara momnya yang sedang terkejut. Mom menutup telepon dan duduk di sofa sambil termenung. Rini menghampiri momnya yang sedang termenung.
”Ada apa, Mom. Kok tampaknya terkejut”, Rini penasaran.
”Begini Rin, kata Dad kita semua akan pindah ke Amerika. Karena Dad telah mendapatkan pekerjaan di sana”, sahut Mom menjelaskan.
”Apa... kita akan pindah ke Amerika. Tapikan Rini sudah betah di sini dengan teman-teman Rini termasuk Yola”, Rini sedih.
”Iya, Mom tau. Mom juga sedih berpisah dengan ibu-ibu di komplek ini. Tapikan semua sudah kehendak Allah. Kita juga harus mengikuti ke mana Dad pergi”, Mom menasihati Rini yang sedih.
”Baiklah, Mom. Rini akan menuruti semua perkataan Mom dan Dad”, sahut Rini sambil pergi berlalu.
Di dalam kamar Rini menangis mengeluarkan air matanya. Rini sedih akan berpisah dengan teman-temannya. Rini dan Yola pun sudah berteman sejak kecil. Rini sedih akan meninggalkan Yola, dan tidak bisa membuat kenang-kenangan dengannya lebih banyak lagi. Tetapi Rini sadar, semua itu hanya kehendak Allah. Rini akan mengikuti ke mana Mom dan Dadnya akan pergi. Keesokan harinya, tepat pada hari Minggu. Rini meminta Yola bertemu lagi, di taman di samping rumahnya pada jam 17.00 sore. Yola pun menyetujuinya tanpa mengetahui apa tujuan Rini memanggilnya.
”Rin, ada apa sih”, Yola menghampiri Rini yang menggandeng tas kecilnya.
”Yol, maaf ya. Mungkin ini hari terakhir kita bertemu”, sahut Rini yang matanya berkaca-kaca karena ingin menangis.
”Astagfirullah, kenapa Rin ? Kamu mau ke mana ? Kamu gak akan ninggalin akukan”, sahut Yola yang sudah mengalirkan air mata.
”Kata Mom, Dad akan bekerja di Amerika. Jadi, kami sekeluarga akan pindah ke Amerika”, Rini tidak bisa menahan tangis.
”Ya Allah, apakah kita akan berpisah Rini”, Yola memeluk Rini yang sudah terurai air mata.
”Maafkan aku, Yola. Jagalah boneka kodok hijau itu. Itu adalah tanda persahabatan kita untuk selamanya. Jangan lupakan aku”, Rini memeluk Yola erat-erat.
Mereka pun berpeluk seakan tidak ingin dilepaskan. Karena hari hampir Magrib, Rini dan Yola berpisah sambil melambaikan tangan berharap dapat bertemu kembali. Sesampai di rumah, Rini mengemasi barang-barangnya dan turun ke bawah untuk makan malam terakhir di Indonesia. Sesudah makan, Rini, Mom dan Dad membawa turun kopernya ke bawah dan pergi ke bandara. Pesawat yang akan berangkat ke Amerika pun tiba. Rini melangkahkan kaki ke pesawat dengan perasaan berat. Pesawat akhirnya berangkat. Yola yang rumahnya dekat dengan bandara, melihat pesawat yang terbang ke Amerika. Yola melepas kepergian Rini, dengan perasaan yang berat. Beberapa tahun, telah Rini lewati di Amerika. Rini yang menginjak usia 17 tahun, terlihat sangat dewasa. Tiba-tiba, HP Rini berdering. Dilihatnya nomor HP tersebut. Tetapi Rini tidak mengenalinya. Diangkatnya telepon dan Rini mendengar suara seorang perempuan yang terlihat dewasa. Ternyata adalah sahabat kecilnya sendiri yaitu Yola. Rini sangat senang dapat mendengar suara Yola lagi.
”Assalamualaikum, Rini”, sahut Yola.
”Waalaikumsalam. Alhamdulillah, ini Yolakan”, sahut Rini.
”Iya, senang banget rasanya dapat mendengar suaramu. Walaupun kita berpisah, kita bisa saling melepas rindu ketika kita berbicara lewat telepon”, Yola sangat senang.
”Iya. Kangen banget rasanya, pingin ketemu sama Yola. Apa kabar Yola ? Kalau aku di Amerika, Alhamdulillah sehat”, Rini ingin tahu kabar Yola.
”Alhamdulillah, aku sehat”, sahut Yola.
”Oh, ya, Yola dapat dari mana nomor HP aku”, tanya Rini.
”Masih ingat majalah Destykan. Aku tetap langgan sama majalah Desty. Kalau gak salah, kamu ada kirim pengalaman gitu ke majalah Desty tentang kita berdua. Kamu harap aku dapat membacanya dan menelepon kamu. Ya kan ?”, Yola menjelaskan.
”Oh, iya ya. Aku di sini juga masih langganan majalah Desty, loh... Teman-temanku di Amerika ternyata juga berlangganan majalah Desty. Katanya majalah Desty buatan Indonesia sangat terkenal di luar negeri”, Rini senang.
”Wah, salam ya buat teman-temanmu dan orang tuamu di Amerika”, Yola menitip salam.
”Oke”, sahut Rini.
”Hahahaha...”, mereka tertawa bersamaan.
Dari hari kehari, mereka sering saling menghubungi lewat telepon. Kadang mereka curhat dan menceritakan tentang negara mereka masing-masing. Mereka sangat senang masih saling berhubung lewat telepon. Mereka juga tetap setia dengan majalah Desty. Mereka pasti menunggu-nunggu dari minggu ke minggu berharap majalah Desty segera datang. Boneka kodok hijau itu masih menjadi lambang persahabatan sejati mereka hingga akhir hayat.

Dunia Gula-Gula

Hari masih pagi sekali. Burung-burung berkicau dengan kerasnya. Terdengar suara kucing meminta makan. Ayam berkokok dengan jantannya. Rumput masih berembun. Udara masih bersih dan segar.
Dengan malasnya, Prilli bangun dari tidurnya. Prilli terkejut. Jam wekernya menunjukkan pukul 06.15. Prilli bergegas mandi dan berpakaian. Sesudah berpakaian Prilli shalat Shubuh dan bergegas ke dapur. Diambilnya sepotong roti dan dioleskan selai nanas di atasnya. Dimakannya roti tersebut sampai habis. Sebelum ke sekolah, ibu Prilli menitipkan bekal kepada Prilli karena Prilli hanya makan sepotong roti pagi ini.
Sesampai di sekolah, Prilli diajak sahabatnya, Mary, mengganti pakaian olahraga. sesudah mengganti pakaian, Prilli dan teman-temannya di suruh olahraga lari keliling sekolah oleh guru olahraganya, Pak Ardy. Setelah beberapa meter jauhnya, Prilli mulai bercakap-cakap dengan sahabatnya, Mary.
"Ry, rasanya aku malas banget, deh ! Disuruh lari dengan Pak Ardy", keluh Prilli.
" Kenapa", tanya Mary singkat.
"Habisnya, capek banget. Siap lari pasti kakiku pegal-pegal semua. Ya sudah, yuk, kita lan..."
"Awas Prilli", Mary memotong pembicaraan Prilli.
DUBRUK...
"Prilli... Prilli... Bangun Prilli", Mary sangat cemas akan keadaan sahabatnya.
Semua kawan-kawan Prilli pun berdatangan dan menolong Prilli yang sudah pingsan di atas rumput-rumput yang masih basah karena embun. Prilli pun dibawa ke ruang UKS. Semua teman-teman dan guru-gurunya cemas. Pertanyaan bertubi-tubi datang kepada Mary.
"Aduh, rasanya pusing banget. Habis terpeleset karena batu. Waduh...!!! Aku di mana ini ?", tanya Prilli kepada dirinya sendiri.
"Halo, gadis cantik", sahut seorang peri.
"Ka... ka... kamu siapa", tanya Prilli terkejut.
"Perkenalkan, nama saya peri Chochy. Pekerjaan saya adalah mengaduk sungai coklat setiap hari", sahut Peri Chochy yang sangat ramah.
"Sungai coklat ??? Aduh, aku di mana sih ?", gumam Prilli.
"Oh, iya, saya lupa, kamu sekarang berada di Dunia Gula-Gula. Mari kutunjukkan kehebatan Dunia Gula-Gula", Peri Chochy menarik tangan Prilli dan mengajaknya ke sungai coklat.
Peri Chochy pun mengambil sehelai daun Crispy. Digulungnya daun crispy dan jadilah sebuah gelas. Dicelupkan gelas tersebut ke dalam sungai coklat dan diangkatnya lagi.
"Nah, minumlah", tawar peri Chochy.
"Enggak, ah ! Masa peri Chochy menawarkan Prilli untuk meminum air sungai koto yang berlumpur itu", Prilli menolak tawaran Peri Chochy.
"Kan, sudah kubilang. Ini adalah air dari sungai coklat yang menjadi pekerjaanku sehari-hari", Peri Chochy meyakinkan Prilli.
"Mmm... baiklah. Aku coba ya", Prilli menerima tawaran peri Chochy. Prilli pun meminum air coklat tersebut. Ternyata gelas Crispynya juga bisa dimakan, rasanya seperti memakan wafer coklat.
"Wah, enak sekali", Prilli mengagumi kelezatan air coklat dan daun Crispynya.
"Dunia Gula-Gula gituloh", sahut Peri Chochy tertawa bahagia. "Nih, untukmu. Jangan pernah melupakan Dunia Gula-Gula ya !". Tiba-tiba suara peri Chochy makin lama makin mengecil. Sehingga tidak dapat lagi terdengar oleh Prilli.
"Pril... Pril... Prilli bagun", Mary membangunkan Prilli yang hampir jatuh dari ranjang ruang UKS.
"Ha!! Di mana aku. Mengapa peri Chochy berubah jadi Mary. Di mana Dunia Gula-Gula ??", Prilli heran.
"Apa ? Peri Chochy, Dunia Gula-Gula. Apa itu ? Ngomong-ngomong dari tadi, kamu menggigau terus lo. Kamu sebutin Peri Chochy, Sungai Coklat, Dunia Gula-Gula gitu. Kamu mimpi ya?", tanya Mary heran.
"Oh, ternyata, aku mimpi ya ? aku kira betulan. Tapi mengapa permen coklat ini, ada di sampingku ? Inikan hadiah dari Peri Chochy", Prilli meyakinkan temannya. Tapi Prilli salah...
"Itukan permen coklat yang diberikan Pak Ardy", Mary lebih meyakinkan Prilli yang sebenarnya.
"Yah... aku kira Dunia Gula-Gula itu benar-benar ada. Ternyata cuma mimpi, tapi Peri Chochy berpesan lo, jangan pernah melupakan Dunia Gula-Gula", Prilli tersenyum lebar.
"Prilli... Prilli...", teman-teman Prilli tertawa serentak melihat tingkah Prilli yang aneh.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...