Mar 6, 2010

Harapan Menuju Gerbang Dunia

“Koran… Koran”, sahut seorang gadis cilik yang bernama Rara Rabia.
Rara adalah seorang anak piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya, Raila Rabia. Rara dan Raila hanya berbeda umur 1 tahun. Oleh karena itu, Rara hanya mendapat kasih sayang yang sebentar. Kemudian, ibunya hamil dan harus mengurusi kehamilannya. Hingga ketika melahirkan adiknya, ibunya meninggal karena pendarahan. Tetapi Rara masih mempunyai ayah, ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Hanya bisa berbaring di atas kasur kapuk di rumahnya. Rara yang menjadi tulang punggung keluarga tetap semangat walaupun harus membiayai seluruh keluarganya. Rara yakin, ibunya di sana pasti mendukungnya. Menjelang pagi, Rara berlomba-lomba dengan mentari untuk sampai ke gerbang kota, bahkan biasanya Rara mengelilingi desa demi desa, agar semua orang dapat mengetahui dunia luar. Jasanya memang diakui orang demi orang yang membeli koran Rara. Tetapi tidak semua orang beranggap bahwa koran itu penting. Pernah seorang pemuda membeli koran Rara, tetapi koran itu tidak untuk dibaca, koran tersebut hanya sebagai kipas untuk menghilangkan rasa panas teriknya mentari. Rara kecewa, Rara mengembalikan uang yang telah diberikan oleh pemuda tersebut dan membiarkannya mengambil koran Rara. Rara pun pergi menemui orang-orang yang benar-benar ingin mengetahui dunia luar.
”Ca, aku pulang duluan ya, mau jualan koran nih”, sahut Rara tanpa rasa malu ketika bel sekolahnya berbunyi.
”Oke... hati-hati di jalan ya. Jangan pulang terlalu malam”, sahut Caca, sahabatnya karibnya. Tetapi Rara mengganggap Caca Raina Laila, sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Karena Caca terlihat lebih sedikit dewasa dari dirinya.
”Iya. Terima kasih sarannya”, sahut Rara berlalu.
Kemana-mana, Rara pasti membawa sepeda tuanya. Tidak seperti Caca, sahabatnya yang selalu diantar oleh sopir pribadi. Tetapi Rara tidak iri sama sekali. Punya sepeda saja sudah cukup baginya untuk memenuhi keinginannya. Pulang sekolah, Rara langsung pergi menemui orang yang ingin membeli korannya. Rara tidak pernah mengeluh sama sekali. Uang hasil korannya digunakan sebagian untuk berobat ayahnya, sebagian untuk membayar uang SPP sekolahnya dan sekolah adiknya perbulan, dan sebagian lagi, Rara tabung agar bisa kuliah di masa depan. Rara yang ingin menjual korannya ke kota, menyusuri hutan kecil yang lebat dan sungai kecil yang jembatannya telah roboh akibat banjir sebulan yang lalu. Rara mengikat sepedanya dan mengaitkannya ke pohon yang rindang. Rara rela basah terkena air sungai yang tingginya selutut demi sampai ke kota. Biasanya Rara membawa handuk kecil dan mengelap ke celananya yang basah agar bisa kering sebagian. Rara berjalan menuju gerbang kota. Rara sangat senang telah sampai ke gerbang kota. Dilangkahkan kakinya ke atas keramik-keramik indah yang terlentang di atas tanah kota. Rara mulai mencari orang yang ingin membeli korannya. Rara hanya meneriaki satu kata dalam satu detik yaitu koran. Seorang ibu membeli koran Rara yang ternyata tidak ikut basah terkena air sungai. Ternyata ibu tersebut seorang psikolog. Ibu psikolog yang bernama Ibu Canny membeli beberapa koran untuk ia baca di waktu senggang. Ibu Canny berpesan agar Rara datang ke kota setiap hari untuk dibeli korannya. Ibu Canny menunggu di samping pohon rindang yang dekat dengan air mancur kota. Rara sangat senang karena ibu Canny seorang psikolog anak telah berlangganan koran dengannya.
”Terima kasih, ibu telah membeli koran saya”, Rara tersenyum lebar.
”Sama-sama anakku. Jangan pantang menyerah, ibu akan selalu menunggumu setiap sore di bawah pohon rindang di samping air mancur kota”, sahut ibu sambil membalas senyum Rara.
”Baik, bu. Insya Allah, Rara bisa selalu datang membawa koran menemui ibu”, seru Rara.
”Terima kasih. Sekarang ibu ingin berbelanja. Ini ada tiga bungkus nasi untuk kamu, ayahmu dan adikmu”, Ibu Canny memberikan tiga bungkus nasi.
”Oh, terima kasih, Bu Canny. Saya sangat senang”, sahut Rara berterima kasih dan mohon pamit dengan Bu Canny.
Tak disangka, waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Rara pergi ke mushalla dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang ia bawa dari rumah dan ia taruh di tas plastiknya bersama mukena dan koran-korannya. Rara pun mengambil air wudhu dan shalat Zhuhur. Setelah shalat, Rara hanya mengganti celananya saja. Rara keluar dari mushalla dan pergi pulang ke rumahnya. Rara menyeberangi sungai dan langsung membuka tali yang mengikat sepedanya dengan pohon yang rindang. Rara melaju kencang sepedanya ke arah rumahnya yang kecil. Rara memberikan sebuah bungkus nasi kepada adiknya tercinta, Raila. Rara pun membuka sebungkus nasi dan menyuapkannya ke mulut ayahnya. Ayahnya terus mengunyah makanan yang disuapkan Rara. Tiba-tiba, ayahnya terbatuk. Rara pun cepat-cepat beranjak dan mengambil segelas air putih. Ditegukkannya ke mulut ayahnya. Ayah Rara sangat bangga kepada Rara yang masih ingin mengurusi ayahnya yang tidak berdaya lagi. Selesai makan, ayahnya disenderkan ke dinding kayu yang hampir roboh akibat dimakan rayap. Rara pun makan sesudah ayahnya kenyang. Adzan Ashar berkumandang. Rara dan Raila shalat di kamarnya sedangkan ayahnya shalat sambil berbaring di atas kasur kapuk yang kusam. Selesai shalat, Rara dan Raila pamit kepada ayahnya untuk pergi bermain sebentar. Ayah mereka pun mengizinkan, tetapi tepat pukul 17.30 harus sudah kembali ke rumah. Rara dan Raila pun menuruti ayahnya. Rara dan Raila bermain di sebuah lapangan kecil bersama teman-temannya. Mereka bermain olahraga kasti yang menjadi olahraga favorit Rara. Ketika jam menunjukkan pukul 17.15, Rara dan Raila mengusaikan permainannya dan berjalan kaki menuju rumahnya. Jarak rumah mereka dengan lapangan kecil tempat mereka bermain tadi agak sedikit jauh. Jadi, memerlukan waktu 15 menit untuk pergi dan pulang. Rara dan Raila pun sampai ke rumahnya dan mengucap salam. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Rara dan Raila terkejut melihat ayahnya yang terbaring kaku di atas kasur kapuknya. Seluruh badan ayahnya pucat dan dingin. Rara dan Raila pun menangis. Mereka sedih telah ditinggalkan ayahnya untuk selamanya. Pertama ibunya yang meninggalkan dirinya untuk selamanya, kini ayahnya pun menyusul keberadaan ibunya yang telah tiada. Rara dan Raila pun mengantarkan kepergian ayahnya sampai ke kuburan. Ibu Canny pun ikut membantu Rara dan Raila. Tetapi, Rara dan Raila berjanji tidak akan sedih terlalu lama hanya karena ditinggal pergi ayahnya. Beberapa hari tanpa keberadaan ayahnya terasa sepi. Hingga suatu malam, dahi Rara hangat. Raila menyadari bahwa kakaknya demam tinggi. Setiap malam, Raila rela tidak tidur demi membantu kakaknya yang gelisah dan menggantikan pakaian kakaknya yang basah karena keringat. Hingga berita itu, sampai ke telinga Bu Canny. Bu Canny langsung menjenguk Rara dan membantu Rara hingga Rara sembuh. Bu Canny menasihati Rara agar melupakan kesedihannya. Rara menuruti Bu Canny dan terus beristiqfar. Hingga akhirnya Rara sembuh selama menjalani pengobatan dua minggu. Rara dan Raila pun diangkat menjadi anak Bu Canny. Ternyata Bu Canny tidak memiliki anak. Bu Canny sangat sayang kepada kedua anak angkatnya. Kini Rara tidak berjualan koran lagi. Rara menyelesaikan kuliahnya di S3. Rara selalu menjadi juara kelas. Rara bersyukur kepada Allah karena telah berhasil lulus. Ayah dan ibunya disana pasti bangga melihat Rara dan Raila yang lulus di S3. Hingga suatu acara pernikahan diadakan, Rara bersanding dengan seorang lelaki pujaan hatinya di atas pelaminan. Kini, Rara mulai berkeluarga. Rara sangat berterima kasih kepada Bu Canny yang telah membantunya dan merawatnya. Tentu, terima kasih yang sebesar-besarnya, Rara ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Mar 4, 2010

Rangkaian Kasih Sayang

”Rara, besokkan papa ulang tahun. Rara kasih apa ?," tanya Lolita.
”Pastinya yang spesial, dong. Kak Lolita gak boleh tau. Besok saja, ketika papa buka kadonya," Rara merahasiakan hadiahnya.
”Yah, kok main rahasia-rahasiaan sih. Ya sudahlah gak apa-apa. Kalau bang Adri," tanya Lolita pula kepada abangnya.
”Enak, aja. Gak mau, ah. Abang kasih tau. Nanti Ayu ikut-ikutan pula lagi," Adri ternyata juga merahasiakannya.
”Yah, mana mungkinlah. Lolitakan udah ada hadiah spesial buat papa. Ngapain Lolita ikut-ikutan Bang Adri," Lolita tidak membenarkan ucapan Adri.
”Wah, sudah punya hadiah buat papa, ya. Apa itu ? Kasih tau dong," sahut Rara dan Adri serentak.
”Enak, aja. Tadi Bang Adri dan Rara enggak mau kasih taukan. Kalau begitu, Lolita juga gak mau kasih tahu. Secret, tau," Lolita pun juga merahasiakan hadiahnya.
”Ya udah, kalau gak mau kasih tau. Nanti juga tau sendiri, kok," sahut Rara mengabaikan.
”Betul. Nanti juga tau sendiri. Gak perlu penasaran sampai setinggi langit," sahut Adri ikut-ikutan.
”Ya udah. Udah, ya. Lolita enggak mau bedebat lagi. Mau shalat Isha, ni. Habis shalat, tidur, deh. Mata Lolita udah seperti di sangkut besi seberat 5 ton. Udah hampir enggak sanggup buka mata lagi," Lolita ngantuk.
”Hoam... Rara juga ngantuk, nih. Bye, Bang Adri. Selamat malam," Rara juga ngantuk.
Setelah shalat Isha, Lolita dan Rara tidur di atas kasur yang empuk di kamar tidur. Adri yang belum ngantuk, membaca komik sebelum tidur. Papa dan mama mengecup kening Lolita dan Rara dan tidak lupa mengucapkan selamat tidur. Mereka sekeluarga pun terlelap di malam yang cuacanya mendung. Mereka tidur diiringi rintik-rintik hujan yang lama-kelamaan turun deras. Di hari pagi yang sangat cerah setelah hujan, tepatnya pukul 05.00. Lolita, Rara dan Adri pun bangun tanpa sepengetahuan papa dan mama. Pagi ini, mereka sengaja mengadakan suprise sekalian mengucapkan selamat ulang tahun kepada Papa. Lolita yang diajari mama memasak, kini sudah mulai pandai memasak telur mata sapi spesial. Rara membantu Adri membersihkan meja makan dan menaruh piring kaca di atasnya. Lolita yang sudah selesai memasak telur mata sapi spesial dan menanak nasi, menyiapkan hidangannya di atas meja makan. Kini semuanya telah selesai. Azan Shubuh berkumandang. Lolita dan Rara hendak membangunkan papa dan mama. Ketika pintu di buka, ternyata papa dan mama, sudah bangun duluan dan hendak bersiap-siap mengambil air wudhu. Mereka berlima pun shalat Shubuh berjamaah. Selesai shalat, Lolita dan Rara menutup mata papa dan mama dengan sehelai kain. Dan mengantarkan mereka ke dapur.
”Hmm... wangi sekali," sahut papa sebelum membuka kain yang menutupi matanya.
”Hmm... Wangi apa ya," sahut mama yang juga belum membuka kain yang menutupi matanya. Lolita dan Rara pun membuka kain yang menutupi mata mama dan papa.
”Suprise”, kata Lolita, Rara dan Adri serentak.
”Masya Allah, ini Lolita yang masak," tanya mama kaget melihat hidangan di atas meja.
”Alhamdulillah, telur mata sapi kesukaan papa. Terima kasih ya Rara, Lolita, Adri," sahut Papa dan mama memeluk mereka bertiga.
Lolita, Rara, dan Adri pun memberi kado ulang tahun yang sudah disiapkan tadi malam kepada papa. Papa mencium kening Lolita, Rara, dan Adri. Begitu pula mama, tidak lupa pula mama mencium pipi mereka bertiga. Mereka sekeluarga pun mencicipi makanan buatan Lolita, tentunya setelah selesai berdoa. Tepatnya pukul 06.00, mereka sekeluarga pun bersiap-siap. Setelah mandi, Lolita, Rara, dan Adri pun berpakaian seragam sekolah. Papa yang sudah wangi memakai pakaian kantoran. Mama memakai pakaian paramedis. Lolita, Rara, dan Adri pun menyalami papa dan mama sebelum berangkat ke sekolah. Setelah semuanya siap, papa pun mengantarkan, Lolita, Rara, dan Adri dengan mobil Kijang Innova. Sesudah sampai di sekolah, Lolita, Rara, dan Adri pun pergi melangkahkan kaki keluar mobil dengan melontarkan senyum hangat yang ceria kepada papa yang umurnya bertambah.

Kejutan Ulang Tahun

”Wah, besok Bu Daini ulang tahun”, sahut Rini kepada Cahya, Tania dan Unny.
”Kasih apa, ya”, tanya Cahya sambil berpikir.
”Mmm… Bagaimana kalau kita kasih sebuah jam”, tiba-tiba Rini mendapatkan sebuah ide.
”Wah, ide yang bagus”, sahut Tania.
”Iya... Bagaimana kalau kita kumpulkan uang dari teman-teman kita sekelas”, Unni menjelaskan.
”Iya, nanti kita bilang ke teman-teman, kalau uang yang kita kumpulkan, untuk membeli sebuah jam yang kita sekelas hadiahkan untuk Bu Daini”, sahut Rini senang.
”Oh, ya. Ngomong-ngomong, kemarin aku ke toko jam. Terus, aku lihat ada sebuah jam yang indah banget. Mungkin jam itu cocok buat Bu Daini”, Cahya memberitahu.
”Boleh juga, tuh. Nanti Cahya aja yang beli sekalian Cahya yang bungkus”, Tania memberitahu Cahya.
”Oke. Yuk, kita ke kelas”, Unny mengajak Rini, Unny dan Tania.
Mereka pun meninggalkan taman dan memasuki kelas mereka. Cahya pun menjelaskan ide mereka berempat kepada Raina. Raina pun menyampaikan ide mereka kepada teman-teman sekelas. Tidak disangka, ternyata teman-teman setuju akan ide mereka berempat dan mulai mengumpulkan uang ke bendahara yaitu Rini. Setelah semuanya mengumpulkan uang, Rini mulai menghitung berapa uang yang didapatkan. Selesai menghitung Rini menyerahkannya uang tersebut kepada Cahya. Cahya pun menyimpan uang tersebut baik-baik sampai Cahya pergi ke toko jam. Keesokan harinya, Cahya yang membawa bungkusan kado yang berisi jam langsung dikerumuni teman-temannya.
”Cahya, model jamnya seperti apa ?”, tanya Rini penasaran.
”Yang ini, nih. Indahkan. Oh, ya, teman-teman, jadi kemarin sisa uang yang sudah melebihi harga jam. Cahya masukkan ke kotak amal”, Cahya menunjukkan kertas yang bergambar jam yang Cahya pilih dan memberitahu teman-temannya yang Cahya kerjakan pada uang sisa tersebut. Cahya pun menunjukkan kertas yang bergambar jam pilihan Cahya kepada Nayla.
”Wah, cantik sekali”, sahut Nayla yang berbahasa baku.
”Iya, modelnya bukan model jaman, tapi model terbaru”, Mika kagum melihat kertas yang bergambar jam yang Cahya pilih.
Kriiing...
”Wah, lonceng sudah berbunyi. Yuk, kita duduk di bangku masing-masing. Sebentar lagi Bu Daini datang”, sahut seorang ketua kelas memperingati yaitu Nafar.
”Assalamualaikum. Berdoa mulai”, sahut Bu Daini seperti biasa.
”Waalaikumsalam”, sahut mereka semua serentak.
Mereka pun berdoa bersama-sama. Selesai berdoa, Bu Daini duduk di kursinya dan menatap semua anak-anak.
”Pak”, Vidi menyahut memberanikan diri.
”Ya, ada apa Vidi”, Bu Daini mempersilahkan Vidi bicara.
Vidi mengangguk kepada Raina dan membiarkan Raina berbicara.
”Begini, Bu. Jadi, hari inikan hari ulang tahun ibu”, Raina lanjut menggangguk kepada Rini.
”Kami sekelas ingin memberikan ibu sebuah hadiah yang sederhana”, Rini, Raina, Nafar dan Vidil pun maju ke depan. Rini dan Raina menyerahkan sebuah bungkusan kado kepada Bu Daini.
”Terima kasih, anak-anak telah mengingat hari ulang tahun, ibu. Boleh ibu buka ?”, tanya Bu Daini.
”Boleh, Bu”, jawab mereka semua serentak.
Bu Daini pun membuka bungkusan kado tersebut dan melihat jam yang indah. Bu Dani sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada anak-anak. Teman-teman pun menyalami Bu Daini. Bu Daini menyalami anak-anak muridnya tercinta satu persatu. Mereka pun memulai pelajaran IPS dengan mengucap basmallah dan diikuti tawa ceria di pagi yang cerah ini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...