Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

May 31, 2010

The Rainbow

“Hujannya deras ya, bi”, sahut Nadia.
“Ia… tapi nanti pelangi akan muncul”, bibi senang.
“Hah… pelangi. Pelangi itu kayak mana sih bi”, tanya Nadia yang ternyata berumur 4 tahun.
“Pelangi itu berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu”, jawab bibi mengajarkan Nadia.
“Oooo…jadi pelangi itu berubah-ubah ya bi”, Tanya Nadia.
“Hahaha… Bukan begitu. Nanti jika pelanginya sudah muncul. Bibi akan menjelaskannya lagi”, bibi tertawa.
Sejak hari itu, Nadia semakin menyukai pelangi. Nadia selalu meminta bibinya menceritakan tentang pelangi. Nadia terpesona melihat pelangi yang sangat indah. Setiap hujan, Nadia selalu menanti-nantikan pelangi. Tetapi tidak setiap hujan, Nadia menemukan pelangi. Walaupun Nadia kecewa, tetapi Nadia tetap senang bisa mengenal pelangi ciptaan Allah.
“Bibi, ceritakan tentang pelangi, dong. Nanti jika Nadia pintar, Ayah dan Ibu di surga pasti senang”, Nadia senang bercampur sedih.
“Iya, sayang. Sekarang berbaringlah di atas kasur. Cerita bibi akan menemani tidurmu”, bibi mulai bercerita.
Beberapa menit, Nadia mendengar cerita bibi. Nadia tertidur. Bibi yang menyadari kalau Nadia sudah terlelap, mengakhiri ceritanya. Bibi mengecup kening Nadia dan pergi meninggalkan kamar Nadia menuju kamar bibi sendiri. Nadia yang sudah terlelap bermimpi indah. Keesokan harinya, Nadia yang sudah terbangun melihat bibinya mengantarkan makanan.
“Assalamualaikum, Nadia. Sudah bangun, nih bibi bawakan sarapan pagi. Ada susu coklat hangat, minuman kesukaanmu”, sahut bibi ceria.
“Waalaikumsalam, terima kasih ya bi”, sahut Rini menjawab salam dan mengucap bismillah dan memulai makannya.
“Makan yang banyak ya”, sahut bibi.
“Iya… Bibi sudah makan”, Tanya Nadia.
“Belum, sebentar lagi bibi makan. Siap makan Nadia mandi ya. Bibi akan mengajak Nadia berbelanja”, sahut bibi menawarkan.
“Wah, terima kasih bibi, Nadia mau ikut”, sahut Nadia senang. :)
Setelah bersiap-siap, Nadia dan bibi pergi ke pasar. Di pasar, Nadia diajarkan cara tawar menawar. Nadia juga dibelikan satu paket pelangi. Nadia sangat senang. Sesampai di rumah, Nadia memajang sebuah pelangi di langit-langit kamarnya. Nadia berbaring di atas kasurnya dan memandang langit-langit kamarnya yang dihiasi pelangi. Ketika Nadia sedang menatap pelanginya, Bibi datang memasuki kamarnya yang telah terhias pelangi yang indah.
“Wah, kamar Nadia cantik, ya…”, sahut bibi terpesona.
“Iya, bi. Nanti kalau Nadia sudah besar, Nadia ingin menjadi ahli pelangi”, Nadia yang sudah membulatkan tekadnya bercita-cita menjadi ahli pelangi.
“Boleh, Bibi bangga dengan Nadia”, sahut bibi senang.
Bertahun-tahun, Nadia belajar dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Akhir. Kemudian, Nadia melanjutkan kuliahnya. Selesai kuliah, Nadia mulai lebih mendalami pelajaran tentang pelangi. Hingga cita-citanya terwujudkan. Ketika Nadia berumur 24 tahun, bibi yang sangat Nadia sayangi meninggal. Ketika, Nadia berumur 25 tahun, Nadia menikah dengan seorang lelaki. 2 tahun sesudah menikah, Nadia melahirkan seorang anak perempuan yang cantik dan diberi nama Putri Pelangi. Nadia dan suaminya merawat Putri dengan kasih sayang hingga Putri besar.

Mar 6, 2010

Harapan Menuju Gerbang Dunia

“Koran… Koran”, sahut seorang gadis cilik yang bernama Rara Rabia.
Rara adalah seorang anak piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya, Raila Rabia. Rara dan Raila hanya berbeda umur 1 tahun. Oleh karena itu, Rara hanya mendapat kasih sayang yang sebentar. Kemudian, ibunya hamil dan harus mengurusi kehamilannya. Hingga ketika melahirkan adiknya, ibunya meninggal karena pendarahan. Tetapi Rara masih mempunyai ayah, ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Hanya bisa berbaring di atas kasur kapuk di rumahnya. Rara yang menjadi tulang punggung keluarga tetap semangat walaupun harus membiayai seluruh keluarganya. Rara yakin, ibunya di sana pasti mendukungnya. Menjelang pagi, Rara berlomba-lomba dengan mentari untuk sampai ke gerbang kota, bahkan biasanya Rara mengelilingi desa demi desa, agar semua orang dapat mengetahui dunia luar. Jasanya memang diakui orang demi orang yang membeli koran Rara. Tetapi tidak semua orang beranggap bahwa koran itu penting. Pernah seorang pemuda membeli koran Rara, tetapi koran itu tidak untuk dibaca, koran tersebut hanya sebagai kipas untuk menghilangkan rasa panas teriknya mentari. Rara kecewa, Rara mengembalikan uang yang telah diberikan oleh pemuda tersebut dan membiarkannya mengambil koran Rara. Rara pun pergi menemui orang-orang yang benar-benar ingin mengetahui dunia luar.
”Ca, aku pulang duluan ya, mau jualan koran nih”, sahut Rara tanpa rasa malu ketika bel sekolahnya berbunyi.
”Oke... hati-hati di jalan ya. Jangan pulang terlalu malam”, sahut Caca, sahabatnya karibnya. Tetapi Rara mengganggap Caca Raina Laila, sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Karena Caca terlihat lebih sedikit dewasa dari dirinya.
”Iya. Terima kasih sarannya”, sahut Rara berlalu.
Kemana-mana, Rara pasti membawa sepeda tuanya. Tidak seperti Caca, sahabatnya yang selalu diantar oleh sopir pribadi. Tetapi Rara tidak iri sama sekali. Punya sepeda saja sudah cukup baginya untuk memenuhi keinginannya. Pulang sekolah, Rara langsung pergi menemui orang yang ingin membeli korannya. Rara tidak pernah mengeluh sama sekali. Uang hasil korannya digunakan sebagian untuk berobat ayahnya, sebagian untuk membayar uang SPP sekolahnya dan sekolah adiknya perbulan, dan sebagian lagi, Rara tabung agar bisa kuliah di masa depan. Rara yang ingin menjual korannya ke kota, menyusuri hutan kecil yang lebat dan sungai kecil yang jembatannya telah roboh akibat banjir sebulan yang lalu. Rara mengikat sepedanya dan mengaitkannya ke pohon yang rindang. Rara rela basah terkena air sungai yang tingginya selutut demi sampai ke kota. Biasanya Rara membawa handuk kecil dan mengelap ke celananya yang basah agar bisa kering sebagian. Rara berjalan menuju gerbang kota. Rara sangat senang telah sampai ke gerbang kota. Dilangkahkan kakinya ke atas keramik-keramik indah yang terlentang di atas tanah kota. Rara mulai mencari orang yang ingin membeli korannya. Rara hanya meneriaki satu kata dalam satu detik yaitu koran. Seorang ibu membeli koran Rara yang ternyata tidak ikut basah terkena air sungai. Ternyata ibu tersebut seorang psikolog. Ibu psikolog yang bernama Ibu Canny membeli beberapa koran untuk ia baca di waktu senggang. Ibu Canny berpesan agar Rara datang ke kota setiap hari untuk dibeli korannya. Ibu Canny menunggu di samping pohon rindang yang dekat dengan air mancur kota. Rara sangat senang karena ibu Canny seorang psikolog anak telah berlangganan koran dengannya.
”Terima kasih, ibu telah membeli koran saya”, Rara tersenyum lebar.
”Sama-sama anakku. Jangan pantang menyerah, ibu akan selalu menunggumu setiap sore di bawah pohon rindang di samping air mancur kota”, sahut ibu sambil membalas senyum Rara.
”Baik, bu. Insya Allah, Rara bisa selalu datang membawa koran menemui ibu”, seru Rara.
”Terima kasih. Sekarang ibu ingin berbelanja. Ini ada tiga bungkus nasi untuk kamu, ayahmu dan adikmu”, Ibu Canny memberikan tiga bungkus nasi.
”Oh, terima kasih, Bu Canny. Saya sangat senang”, sahut Rara berterima kasih dan mohon pamit dengan Bu Canny.
Tak disangka, waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Rara pergi ke mushalla dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang ia bawa dari rumah dan ia taruh di tas plastiknya bersama mukena dan koran-korannya. Rara pun mengambil air wudhu dan shalat Zhuhur. Setelah shalat, Rara hanya mengganti celananya saja. Rara keluar dari mushalla dan pergi pulang ke rumahnya. Rara menyeberangi sungai dan langsung membuka tali yang mengikat sepedanya dengan pohon yang rindang. Rara melaju kencang sepedanya ke arah rumahnya yang kecil. Rara memberikan sebuah bungkus nasi kepada adiknya tercinta, Raila. Rara pun membuka sebungkus nasi dan menyuapkannya ke mulut ayahnya. Ayahnya terus mengunyah makanan yang disuapkan Rara. Tiba-tiba, ayahnya terbatuk. Rara pun cepat-cepat beranjak dan mengambil segelas air putih. Ditegukkannya ke mulut ayahnya. Ayah Rara sangat bangga kepada Rara yang masih ingin mengurusi ayahnya yang tidak berdaya lagi. Selesai makan, ayahnya disenderkan ke dinding kayu yang hampir roboh akibat dimakan rayap. Rara pun makan sesudah ayahnya kenyang. Adzan Ashar berkumandang. Rara dan Raila shalat di kamarnya sedangkan ayahnya shalat sambil berbaring di atas kasur kapuk yang kusam. Selesai shalat, Rara dan Raila pamit kepada ayahnya untuk pergi bermain sebentar. Ayah mereka pun mengizinkan, tetapi tepat pukul 17.30 harus sudah kembali ke rumah. Rara dan Raila pun menuruti ayahnya. Rara dan Raila bermain di sebuah lapangan kecil bersama teman-temannya. Mereka bermain olahraga kasti yang menjadi olahraga favorit Rara. Ketika jam menunjukkan pukul 17.15, Rara dan Raila mengusaikan permainannya dan berjalan kaki menuju rumahnya. Jarak rumah mereka dengan lapangan kecil tempat mereka bermain tadi agak sedikit jauh. Jadi, memerlukan waktu 15 menit untuk pergi dan pulang. Rara dan Raila pun sampai ke rumahnya dan mengucap salam. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Rara dan Raila terkejut melihat ayahnya yang terbaring kaku di atas kasur kapuknya. Seluruh badan ayahnya pucat dan dingin. Rara dan Raila pun menangis. Mereka sedih telah ditinggalkan ayahnya untuk selamanya. Pertama ibunya yang meninggalkan dirinya untuk selamanya, kini ayahnya pun menyusul keberadaan ibunya yang telah tiada. Rara dan Raila pun mengantarkan kepergian ayahnya sampai ke kuburan. Ibu Canny pun ikut membantu Rara dan Raila. Tetapi, Rara dan Raila berjanji tidak akan sedih terlalu lama hanya karena ditinggal pergi ayahnya. Beberapa hari tanpa keberadaan ayahnya terasa sepi. Hingga suatu malam, dahi Rara hangat. Raila menyadari bahwa kakaknya demam tinggi. Setiap malam, Raila rela tidak tidur demi membantu kakaknya yang gelisah dan menggantikan pakaian kakaknya yang basah karena keringat. Hingga berita itu, sampai ke telinga Bu Canny. Bu Canny langsung menjenguk Rara dan membantu Rara hingga Rara sembuh. Bu Canny menasihati Rara agar melupakan kesedihannya. Rara menuruti Bu Canny dan terus beristiqfar. Hingga akhirnya Rara sembuh selama menjalani pengobatan dua minggu. Rara dan Raila pun diangkat menjadi anak Bu Canny. Ternyata Bu Canny tidak memiliki anak. Bu Canny sangat sayang kepada kedua anak angkatnya. Kini Rara tidak berjualan koran lagi. Rara menyelesaikan kuliahnya di S3. Rara selalu menjadi juara kelas. Rara bersyukur kepada Allah karena telah berhasil lulus. Ayah dan ibunya disana pasti bangga melihat Rara dan Raila yang lulus di S3. Hingga suatu acara pernikahan diadakan, Rara bersanding dengan seorang lelaki pujaan hatinya di atas pelaminan. Kini, Rara mulai berkeluarga. Rara sangat berterima kasih kepada Bu Canny yang telah membantunya dan merawatnya. Tentu, terima kasih yang sebesar-besarnya, Rara ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Mar 4, 2010

Rangkaian Kasih Sayang

”Rara, besokkan papa ulang tahun. Rara kasih apa ?," tanya Lolita.
”Pastinya yang spesial, dong. Kak Lolita gak boleh tau. Besok saja, ketika papa buka kadonya," Rara merahasiakan hadiahnya.
”Yah, kok main rahasia-rahasiaan sih. Ya sudahlah gak apa-apa. Kalau bang Adri," tanya Lolita pula kepada abangnya.
”Enak, aja. Gak mau, ah. Abang kasih tau. Nanti Ayu ikut-ikutan pula lagi," Adri ternyata juga merahasiakannya.
”Yah, mana mungkinlah. Lolitakan udah ada hadiah spesial buat papa. Ngapain Lolita ikut-ikutan Bang Adri," Lolita tidak membenarkan ucapan Adri.
”Wah, sudah punya hadiah buat papa, ya. Apa itu ? Kasih tau dong," sahut Rara dan Adri serentak.
”Enak, aja. Tadi Bang Adri dan Rara enggak mau kasih taukan. Kalau begitu, Lolita juga gak mau kasih tahu. Secret, tau," Lolita pun juga merahasiakan hadiahnya.
”Ya udah, kalau gak mau kasih tau. Nanti juga tau sendiri, kok," sahut Rara mengabaikan.
”Betul. Nanti juga tau sendiri. Gak perlu penasaran sampai setinggi langit," sahut Adri ikut-ikutan.
”Ya udah. Udah, ya. Lolita enggak mau bedebat lagi. Mau shalat Isha, ni. Habis shalat, tidur, deh. Mata Lolita udah seperti di sangkut besi seberat 5 ton. Udah hampir enggak sanggup buka mata lagi," Lolita ngantuk.
”Hoam... Rara juga ngantuk, nih. Bye, Bang Adri. Selamat malam," Rara juga ngantuk.
Setelah shalat Isha, Lolita dan Rara tidur di atas kasur yang empuk di kamar tidur. Adri yang belum ngantuk, membaca komik sebelum tidur. Papa dan mama mengecup kening Lolita dan Rara dan tidak lupa mengucapkan selamat tidur. Mereka sekeluarga pun terlelap di malam yang cuacanya mendung. Mereka tidur diiringi rintik-rintik hujan yang lama-kelamaan turun deras. Di hari pagi yang sangat cerah setelah hujan, tepatnya pukul 05.00. Lolita, Rara dan Adri pun bangun tanpa sepengetahuan papa dan mama. Pagi ini, mereka sengaja mengadakan suprise sekalian mengucapkan selamat ulang tahun kepada Papa. Lolita yang diajari mama memasak, kini sudah mulai pandai memasak telur mata sapi spesial. Rara membantu Adri membersihkan meja makan dan menaruh piring kaca di atasnya. Lolita yang sudah selesai memasak telur mata sapi spesial dan menanak nasi, menyiapkan hidangannya di atas meja makan. Kini semuanya telah selesai. Azan Shubuh berkumandang. Lolita dan Rara hendak membangunkan papa dan mama. Ketika pintu di buka, ternyata papa dan mama, sudah bangun duluan dan hendak bersiap-siap mengambil air wudhu. Mereka berlima pun shalat Shubuh berjamaah. Selesai shalat, Lolita dan Rara menutup mata papa dan mama dengan sehelai kain. Dan mengantarkan mereka ke dapur.
”Hmm... wangi sekali," sahut papa sebelum membuka kain yang menutupi matanya.
”Hmm... Wangi apa ya," sahut mama yang juga belum membuka kain yang menutupi matanya. Lolita dan Rara pun membuka kain yang menutupi mata mama dan papa.
”Suprise”, kata Lolita, Rara dan Adri serentak.
”Masya Allah, ini Lolita yang masak," tanya mama kaget melihat hidangan di atas meja.
”Alhamdulillah, telur mata sapi kesukaan papa. Terima kasih ya Rara, Lolita, Adri," sahut Papa dan mama memeluk mereka bertiga.
Lolita, Rara, dan Adri pun memberi kado ulang tahun yang sudah disiapkan tadi malam kepada papa. Papa mencium kening Lolita, Rara, dan Adri. Begitu pula mama, tidak lupa pula mama mencium pipi mereka bertiga. Mereka sekeluarga pun mencicipi makanan buatan Lolita, tentunya setelah selesai berdoa. Tepatnya pukul 06.00, mereka sekeluarga pun bersiap-siap. Setelah mandi, Lolita, Rara, dan Adri pun berpakaian seragam sekolah. Papa yang sudah wangi memakai pakaian kantoran. Mama memakai pakaian paramedis. Lolita, Rara, dan Adri pun menyalami papa dan mama sebelum berangkat ke sekolah. Setelah semuanya siap, papa pun mengantarkan, Lolita, Rara, dan Adri dengan mobil Kijang Innova. Sesudah sampai di sekolah, Lolita, Rara, dan Adri pun pergi melangkahkan kaki keluar mobil dengan melontarkan senyum hangat yang ceria kepada papa yang umurnya bertambah.

Kejutan Ulang Tahun

”Wah, besok Bu Daini ulang tahun”, sahut Rini kepada Cahya, Tania dan Unny.
”Kasih apa, ya”, tanya Cahya sambil berpikir.
”Mmm… Bagaimana kalau kita kasih sebuah jam”, tiba-tiba Rini mendapatkan sebuah ide.
”Wah, ide yang bagus”, sahut Tania.
”Iya... Bagaimana kalau kita kumpulkan uang dari teman-teman kita sekelas”, Unni menjelaskan.
”Iya, nanti kita bilang ke teman-teman, kalau uang yang kita kumpulkan, untuk membeli sebuah jam yang kita sekelas hadiahkan untuk Bu Daini”, sahut Rini senang.
”Oh, ya. Ngomong-ngomong, kemarin aku ke toko jam. Terus, aku lihat ada sebuah jam yang indah banget. Mungkin jam itu cocok buat Bu Daini”, Cahya memberitahu.
”Boleh juga, tuh. Nanti Cahya aja yang beli sekalian Cahya yang bungkus”, Tania memberitahu Cahya.
”Oke. Yuk, kita ke kelas”, Unny mengajak Rini, Unny dan Tania.
Mereka pun meninggalkan taman dan memasuki kelas mereka. Cahya pun menjelaskan ide mereka berempat kepada Raina. Raina pun menyampaikan ide mereka kepada teman-teman sekelas. Tidak disangka, ternyata teman-teman setuju akan ide mereka berempat dan mulai mengumpulkan uang ke bendahara yaitu Rini. Setelah semuanya mengumpulkan uang, Rini mulai menghitung berapa uang yang didapatkan. Selesai menghitung Rini menyerahkannya uang tersebut kepada Cahya. Cahya pun menyimpan uang tersebut baik-baik sampai Cahya pergi ke toko jam. Keesokan harinya, Cahya yang membawa bungkusan kado yang berisi jam langsung dikerumuni teman-temannya.
”Cahya, model jamnya seperti apa ?”, tanya Rini penasaran.
”Yang ini, nih. Indahkan. Oh, ya, teman-teman, jadi kemarin sisa uang yang sudah melebihi harga jam. Cahya masukkan ke kotak amal”, Cahya menunjukkan kertas yang bergambar jam yang Cahya pilih dan memberitahu teman-temannya yang Cahya kerjakan pada uang sisa tersebut. Cahya pun menunjukkan kertas yang bergambar jam pilihan Cahya kepada Nayla.
”Wah, cantik sekali”, sahut Nayla yang berbahasa baku.
”Iya, modelnya bukan model jaman, tapi model terbaru”, Mika kagum melihat kertas yang bergambar jam yang Cahya pilih.
Kriiing...
”Wah, lonceng sudah berbunyi. Yuk, kita duduk di bangku masing-masing. Sebentar lagi Bu Daini datang”, sahut seorang ketua kelas memperingati yaitu Nafar.
”Assalamualaikum. Berdoa mulai”, sahut Bu Daini seperti biasa.
”Waalaikumsalam”, sahut mereka semua serentak.
Mereka pun berdoa bersama-sama. Selesai berdoa, Bu Daini duduk di kursinya dan menatap semua anak-anak.
”Pak”, Vidi menyahut memberanikan diri.
”Ya, ada apa Vidi”, Bu Daini mempersilahkan Vidi bicara.
Vidi mengangguk kepada Raina dan membiarkan Raina berbicara.
”Begini, Bu. Jadi, hari inikan hari ulang tahun ibu”, Raina lanjut menggangguk kepada Rini.
”Kami sekelas ingin memberikan ibu sebuah hadiah yang sederhana”, Rini, Raina, Nafar dan Vidil pun maju ke depan. Rini dan Raina menyerahkan sebuah bungkusan kado kepada Bu Daini.
”Terima kasih, anak-anak telah mengingat hari ulang tahun, ibu. Boleh ibu buka ?”, tanya Bu Daini.
”Boleh, Bu”, jawab mereka semua serentak.
Bu Daini pun membuka bungkusan kado tersebut dan melihat jam yang indah. Bu Dani sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada anak-anak. Teman-teman pun menyalami Bu Daini. Bu Daini menyalami anak-anak muridnya tercinta satu persatu. Mereka pun memulai pelajaran IPS dengan mengucap basmallah dan diikuti tawa ceria di pagi yang cerah ini.

Feb 27, 2010

Dunia Gula-Gula

Hari masih pagi sekali. Burung-burung berkicau dengan kerasnya. Terdengar suara kucing meminta makan. Ayam berkokok dengan jantannya. Rumput masih berembun. Udara masih bersih dan segar.
Dengan malasnya, Prilli bangun dari tidurnya. Prilli terkejut. Jam wekernya menunjukkan pukul 06.15. Prilli bergegas mandi dan berpakaian. Sesudah berpakaian Prilli shalat Shubuh dan bergegas ke dapur. Diambilnya sepotong roti dan dioleskan selai nanas di atasnya. Dimakannya roti tersebut sampai habis. Sebelum ke sekolah, ibu Prilli menitipkan bekal kepada Prilli karena Prilli hanya makan sepotong roti pagi ini.
Sesampai di sekolah, Prilli diajak sahabatnya, Mary, mengganti pakaian olahraga. sesudah mengganti pakaian, Prilli dan teman-temannya di suruh olahraga lari keliling sekolah oleh guru olahraganya, Pak Ardy. Setelah beberapa meter jauhnya, Prilli mulai bercakap-cakap dengan sahabatnya, Mary.
"Ry, rasanya aku malas banget, deh ! Disuruh lari dengan Pak Ardy", keluh Prilli.
" Kenapa", tanya Mary singkat.
"Habisnya, capek banget. Siap lari pasti kakiku pegal-pegal semua. Ya sudah, yuk, kita lan..."
"Awas Prilli", Mary memotong pembicaraan Prilli.
DUBRUK...
"Prilli... Prilli... Bangun Prilli", Mary sangat cemas akan keadaan sahabatnya.
Semua kawan-kawan Prilli pun berdatangan dan menolong Prilli yang sudah pingsan di atas rumput-rumput yang masih basah karena embun. Prilli pun dibawa ke ruang UKS. Semua teman-teman dan guru-gurunya cemas. Pertanyaan bertubi-tubi datang kepada Mary.
"Aduh, rasanya pusing banget. Habis terpeleset karena batu. Waduh...!!! Aku di mana ini ?", tanya Prilli kepada dirinya sendiri.
"Halo, gadis cantik", sahut seorang peri.
"Ka... ka... kamu siapa", tanya Prilli terkejut.
"Perkenalkan, nama saya peri Chochy. Pekerjaan saya adalah mengaduk sungai coklat setiap hari", sahut Peri Chochy yang sangat ramah.
"Sungai coklat ??? Aduh, aku di mana sih ?", gumam Prilli.
"Oh, iya, saya lupa, kamu sekarang berada di Dunia Gula-Gula. Mari kutunjukkan kehebatan Dunia Gula-Gula", Peri Chochy menarik tangan Prilli dan mengajaknya ke sungai coklat.
Peri Chochy pun mengambil sehelai daun Crispy. Digulungnya daun crispy dan jadilah sebuah gelas. Dicelupkan gelas tersebut ke dalam sungai coklat dan diangkatnya lagi.
"Nah, minumlah", tawar peri Chochy.
"Enggak, ah ! Masa peri Chochy menawarkan Prilli untuk meminum air sungai koto yang berlumpur itu", Prilli menolak tawaran Peri Chochy.
"Kan, sudah kubilang. Ini adalah air dari sungai coklat yang menjadi pekerjaanku sehari-hari", Peri Chochy meyakinkan Prilli.
"Mmm... baiklah. Aku coba ya", Prilli menerima tawaran peri Chochy. Prilli pun meminum air coklat tersebut. Ternyata gelas Crispynya juga bisa dimakan, rasanya seperti memakan wafer coklat.
"Wah, enak sekali", Prilli mengagumi kelezatan air coklat dan daun Crispynya.
"Dunia Gula-Gula gituloh", sahut Peri Chochy tertawa bahagia. "Nih, untukmu. Jangan pernah melupakan Dunia Gula-Gula ya !". Tiba-tiba suara peri Chochy makin lama makin mengecil. Sehingga tidak dapat lagi terdengar oleh Prilli.
"Pril... Pril... Prilli bagun", Mary membangunkan Prilli yang hampir jatuh dari ranjang ruang UKS.
"Ha!! Di mana aku. Mengapa peri Chochy berubah jadi Mary. Di mana Dunia Gula-Gula ??", Prilli heran.
"Apa ? Peri Chochy, Dunia Gula-Gula. Apa itu ? Ngomong-ngomong dari tadi, kamu menggigau terus lo. Kamu sebutin Peri Chochy, Sungai Coklat, Dunia Gula-Gula gitu. Kamu mimpi ya?", tanya Mary heran.
"Oh, ternyata, aku mimpi ya ? aku kira betulan. Tapi mengapa permen coklat ini, ada di sampingku ? Inikan hadiah dari Peri Chochy", Prilli meyakinkan temannya. Tapi Prilli salah...
"Itukan permen coklat yang diberikan Pak Ardy", Mary lebih meyakinkan Prilli yang sebenarnya.
"Yah... aku kira Dunia Gula-Gula itu benar-benar ada. Ternyata cuma mimpi, tapi Peri Chochy berpesan lo, jangan pernah melupakan Dunia Gula-Gula", Prilli tersenyum lebar.
"Prilli... Prilli...", teman-teman Prilli tertawa serentak melihat tingkah Prilli yang aneh.

Dec 5, 2009

Gigi Emas Nenek

Hari masih pagi sekali. Udara masih bersih dan segar. Terdengar nyanyian burung yang merdu dan suara kucing meminta makan. Ayam jantan berkokok dengan kekarnya. Rumput-rumput masih berembun. Udara pagi yang dingin menusuk tubuh.
Sebenarnya Winni masih ingin tidur, tapi sebuah cahaya telah menyilaukan matanya. Ketika, Winni terbangun dari mimpinya, Winni terkejut. Winni melihat perkumpulan gigi-gigi emas yang sedang berbaris sebagaimana seorang prajurit. Setelah Winni, benar-benar sadar. Mata Winni menangkap sebuah sosok seorang nenek yang tersenyum sambil memamerkan gigi emasnya, dan ternya sebuah sosok tersebut adalah neneknya sendiri. Winni melompat dari tempat tidurnya dan langsung memeluk neneknya.
"Nenek.... Gigi baru nie...", celoteh Winni sambil tertawa. Maklum, nenek Winni adalah nenek yang gaul. Nenek Winni juga bisa berbahasa gaul. Setiap Winni bertemu neneknya, Sekali-kali Winni bercakap-cakap menggunakan bahasa a sampai z dengan neneknya.
"Nek, ke Minimarket yuk, pinta Winni sambil menunjukkan wajah dengan mimik ingin dikasihani. Karena neneknya memiliki rasa kasihan yang mendalam, akhirnya nenek membawa Winni ke Minimarket.
Sesampainya di Minimarket, Winni langsung memilih-milih barang yang disukainya. "Winni, mau beli yang ini, yang ini juga, yang itu juga, yang di pojok kanan juga, yang di pojok kiri juga...", hampir semua tempat ditunjuk Winni. Winni tidak sadar bahwa tumpukan barangnya sudah setinggi anak gajah. "Dan terakhir ini", Winni memberhentikan suaranya sambil terlihat puas.
"Oh, iya, ini untuk nenek", sahut Winni. Diberikannya sebungkus permen karet rasa jeruk ke neneknya. "Oh... permen karet kesukaan nenek, rasa jeruk kesukaan nenek", kata nenek sambil sedikit terharu. "Untung sekarang nenek punya gigi emas palsu, nenek bisa mengunyah-ngunyah permen karet kesukaan nenek, gak seperti dulu, dulu nenek hanya bisa menghisap-hisap permen karet itu, sebagaimana menghisap permen biasa", kata Winni dengan panjang lebar.
Winni dan nenek pun pulang ke rumah. Ketika kaki Winni menyentuh lantai, Winni mendengar sebuah jeritan. Ternyata itu adalah jeritan Bi Kia. Winni dan neneknya segera menemui Bu Kia untuk menanyakan apa sebab Bu Kia menjerit.
"Kenapa menjerit Bi", tanya Winni penasaran. "Caca, Ra... Adikmu...", jawab Bi Kia sambil ketakutan. "Kenapa dengan Caca", Bi ? tanya Winni lagi. Tadi Bibi lihat di dapur, ada hantu kecil yang mirip Caca, jawab Bibi lagi. Belum sempat Winni berkata, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah suara. "Hi...hihihihihi...", suara hantu kecil itu. I... i... itu Win, hantu ke..cil yang bibi bi...lang, sahut bibi sambil terputus-putus. Tiba-tiba, nenek menunjukkan muka seramnya sambil memamerkan gigi taring emasnya. "Ampun... ampun, nggak nyangka bisa bertemu hantu bergigi emas betulan...", sahut hantu kecil itu.
"Caca....", sahut Winni, nenek dan bibi sambil sedikit menjerit. "Hahahahaha... maaf, kak, Cacakan hanya ingin usil sedikit, oh,iya, Caca kira nenek betul-betul hantu lo...", jawab Caca sambil tertawa geli. Winni, nenek, dan Bibi pun akhirnya juga ikut tertawa. Itu adalah kejadian yang paling menyenangkan bagi Winni.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...